Vardy memang paling fenomenal. Tidak ada masyarakat Inggris yang membenci capaian rekornya saat ini. Ia seolah mengembalikan kedigdayaan Inggris di tanah sendiri. Belum lagi segala cerita kesederhanaan Vardy juga menyiratkan kalau semua anak di Inggris bisa saja seperti dirinya yang berjuang dari bawah, bukan dari akademi yang mewah. 


Memang, Vardy sempat mengenyam pendidikan di Akademi Sheffield Wednesday. Namun, ia disingkirkan karena tubuh kecilnya dianggap menjadi hambatan besar.

Vardy pun melangkah jauh hingga ke kompetisi tingkat ketujuh. Ia berlatih bersama Stocksbridge Park Steels FC yang kala itu bermain di Northern Premier League. Di sana, ia dibayar 30 pounds per pertandingan, sekaligus nyambi menjadi buruh di pabrik serat karbon. 

Dengan kondisi seperti itu, tentu sulit bagi siapapun bisa meramalkan nasib baik akan menghampiri Vardy. Secara teori, untuk sekadar berlaga di Football League, divisi kedua hingga keempat saja, peluangnya amatlah tipis. Ia harus benar-benar fenomenal untuk bisa direkrut tim terkenal.

Di balik tubuhnya yang kurus dan kecil, bakatnya hadir menyempil. FC Halifax dan Fleetwood Town yang menyadari ada bakat yang menyelinap di dalam tubuh kecilnya. Saat banyak kesebelasan mulai tertarik padanya, lantas datanglah Nigel Pearson, yang kala itu menjadi manajer Leicester City. Ia meyakinkannya untuk mau berlaga bersama The Foxes. Nigel pun tak segan mengeluarkan dana satu juta pounds, rekor transfer terbesar untuk kesebelasan non-league. Di sinilah sinar Vardy mulai terang benderang. 

Sepakbola Akar Rumput sebagai Fondasi Liga

Salah satu faktor kesuksesan Liga Inggris adalah budaya di masyarakat yang mencintai sepakbola. Mereka bukan cuma menonton sepakbola, tetapi juga berhasrat untuk menjadi pesepakbola.

Liga Inggris merupakan salah satu kompetisi dengan piramida kompetisi terbesar di dunia. Terdapat empat divisi di kompetisi profesional, dan tujuh divisi untuk semiprofesional. Kompetisi profesional tidak dikelola oleh FA sebagai Federasi Sepakbola Inggris, melainkan oleh operator yang merupakan perwakilan dari klub. FA sendiri mengurus kompetisi semi profesional, The National League System, yang terdiri dari 84 liga yang diikuti lebih dari 1.600 kesebelasan.

Dengan jumlah sebanyak itu, setiap kota dan kabupaten di Inggris memiliki kompetisi tersendiri. Artinya, dengan jumlah pesepakbola yang fantastis -- Inggris memiliki 5.300 kesebelasan yang terdaftar di piramida kompetisi--, negara ini tak akan kehilangan atmosfer sepakbola yang penting bagi kelanjutan industri liga.

Kehadiran kesebelasan-kesebelasan tersebut membuka peluang bagi masyarakat Inggris untuk bergabung. Praktis diperlukan pula infrastruktur penunjang seperti stadion atau lapangan sepakbola. Di sinilah bakat-bakat Inggris dilatih dan diperkenalkan dengan sepakbola. Hasil akhirnya, selain untuk faktor bisnis, bisa meningkatkan kemungkinan hadirnya pemain-pemain kelas dunia. 

Inggris tentu tak bisa sekadar mengandalkan Premier League. Bisa dibilang, Premier League hanyalah etalase bisnis sepakbola Inggris. Tidak ada aturan yang memberi keuntungan buat kelangsungan timnas Inggris. Jumlah pemain asing membludak. Aturan hanya terbatas pada jumlah pemain home-grown, di mana Cesc Fabregas, yang seorang Spanyol sekalipun, dikategorikan sebagai pemain home-grown.

Komposisi pemain Inggris U-21 di Piala Eropa U-21 2015, mayoritas berasal dari Football League. Hanya sejumlah pemain yang berasal dari klub besar seperti Jack Butland, Carl Jenkinson, John Stones, James Ward-Prowse, Harry Kane, Jesse Lingard, dan Calum Chambers. Itu pun hanya beberapa dari mereka yang mendapatkan tempat utama di tim.

Kompetisi sepakbola di akar rumput amat penting terutama untuk menghadirkan pesepakbola yang sejatinya punya bakat namun tak mendapatkan tempat di akademi kesebelasan-kesebelasan besar. Jamie Vardy, sekali lagi, menjadi bukti bahwa potensi-potensi yang tak terlihat itu nyata kehadirannya.

Chairman Halifax, David Bosomworth, mengajak masyarakat Inggris yang ingin menjadi pesepakbola untuk tetap memiliki keyakinan meski tak masuk akademi.

"Saya harap cerita Vardy memberikan pesan kepada pemain yang ditolak oleh kesebelasan dari Football League yang berpikir untuk berhenti. Jangan. Main saja di non-league dan tunjukkan apa yang Anda bisa," ujar Bosomworth dikutip dari The Guardian.

Ada Vardy Lain di Non-League

Usai bermain seri menghadapi Leicester City, Chris Smalling menyempatkan waktunya untuk memuji Vardy. Lebih dari itu, ia mengingatkan para manajer untuk lebih memerhatikan para pemain dari kompetisi bawah yang tak tampak dalam radar. Pasalnya, Smalling pun merupakan produk dari kompetisi tersebut.

"Akan makin banyak kesebelasan yang akan memantau para penyerang kesebelasan di divisi bawah," tutur Smalling di situs resmi Manchester United, "Kalau ada pemain-pemain cemerlang, pasti kesebelasan besar akan memberi mereka kesempatan."

Smalling sendiri memulai karier sepakbolanya di kesebelasan non-league, Maidston United, yang berlaga di divisi ketujuh. Kariernya menanjak saat direkrut Fulham pada 2008. Ia pun semakin dikenal setelah membela Manchester United sejak 2010. 

Sebenarnya, sejumlah pemandu bakat biasa hadir di pertandingan divisi bawah. Pelatih timnas Inggris saat ini, Roy Hodgson, adalah saksi matanya. Saat Smalling direkrut Fulham, ada Hodgson sebagai manajernya. Pun ketika Vardy merumput di Fleetwood, ada sosok Hodgson yang memantaunya untuk direkrut West Bromwich Albion.

Selain Smalling, manajer Crystal Palace, Alan Pardew, pun merasakan benar apa yang dialami Vardy. Sebelum bergabung dengan Palace pada 1987, Pardew berkelana di lima kesebelasan non-league.

"Ketika Anda bermain di non-league, Anda masih memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi (bermain di divisi yang lebih tinggi). Akan selalu ada jalan untuk memberi pemain mimpi seperti yang diraih Vardy saat ini," tutur Pardew.

Secara jelas Vardy mengungkapkan kalau terlambatnya ia memberi pesona adalah soal kesempatan. Dengan kemampuan sehebat apapun, kalau tak mendapat kesempatan, Vardy tak akan seperti sekarang ini.

"Ada banyak pemain yang memilih keluar dari sistem (akademi). Buat saya, itu adalah Sheffield Wednesday ketika saya berusia 16 tahun hanya karena mereka berpikir tubuhku terlalu kecil. Aku ingat bagaimana perasaanku saat itu, dan saat itu jelas sulit untuk berpikir tentang kompetisi profesional," tutur Vardy usai membangun akademi atas namanya "V9".

Apa yang dimaksud Vardy adalah bahwa tidak selamanya kemampuan diukur secara obyektif. Ada yang memilih berdasarkan fisik, ada pula yang menimbang faktor materi.

"Sejujurnya, ada pemain yang lebih baik di luar sana di Conference (Kompetisi divisi 5-6). Aku pikir, sering kesebelasan (besar) tidak mau mengambil risiko. Beruntung buatku karena Leicester mau melakukannya (mengambil risiko)," imbuh Vardy.

Menanti Vardy-Vardy yang Lain

Kompetisi non-league kerap menjadi olokan. Padahal, para pemain di non-league adalah mereka yang tak patah arang meski nasib baik di sepakbola tak pernah menghampiri. Mereka harus bersusah payah membagi waktu antara bekerja dan bertanding.

Dalam kasus Vardy, misalnya, pemain kelahiran 11 Januari 1987 ini kesulitan membagi waktu antara bekerja dan bermain bola. Untuk urusan asupan nutrisi sekalipun, Vardy sulit untuk mengaturnya. Satu-satunya nutrisi yang diperlukan hanya berasal dari makanan cepat saji seusai ia bekerja.

Kecemerlangan Vardy membuka mata orang-orang tentang bakat di kompetisi akar rumput yang tak mendapat perhatian luas. Selain itu, tingginya piramida sepakbola Inggris memberi keuntungan buat negara lain, salah satunya Irlandia Utara. Bek kanan andalan mereka, Conor McLaughlin, bermain di Fleetwood Town yang bermain di non-league. Artinya, tidak selamanya mereka yang bermain di divisi bawah lebih buruk dari yang bermain di liga utama.

Daily Mail bahkan membuat daftar lima pemain potensial di non-league yang mungkin saja bisa mengikuti jejak Vardy. Nama-nama seperti Xavier Vidal (Welling United), Omar Bogle (Grimsby Town), Moses Emmanuel (Bromley), dan Jack Munns (Cheltenham Town) pun diangkat. Umumnya, deksripsi yang dituliskan Daily Mail tidak objektif berdasarkan statistik, melainkan lebih kepada deksrpisi pandangan mata.

Vidal dianggap memiliki umpan yang akurat. Bogle memiliki kekuatan dan kecepatan di depan gawang. Munns, yang meskipun pendek dan kurus, memiliki kualitas sebagai pengatur serangan. Hanya Emmanuel yang dianggap "hebat" karena jumlah torehan golnya.

Deksripsi tersebut menyiratkan kalau seringkali sesuatu "yang hebat" itu tidak bisa dijabarkan dengan angka. Anda mesti melihatnya langsung dan bagaimana peran pemain tersebut buat tim.

Kehadiran kompetisi semiprofesional dan selalu bergulirnya pertandingan kesebelasan amatir, seolah menjadi pupuk untuk bakat-bakat yang hampir layu. Kompetisi non-league menjadi penting buat Inggris, karena tanpanya, tak mungkin ada pemain Inggris yang bisa membuat rekor mencetak gol di 11 pertandingan liga berturut-turut.


====

* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball
(roz/a2s)

Sumber: sport.detik.com





Posting Komentar Blogger

 
Top