Ustaz Abu Umar Basyir menulis pada status FBnya (2018/11/01, dengan minor editing): 

Di perjalanan menyisiri pinggiran kota Donggala, saya menemukan sebuah pelajaran yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. 

Ini bukan soal dahsyatnya efek gempa.

Bukan tentang derita para korban bencana. Bukan bertalian dengan distribusi bantuan yang dari waktu bencana satu ke waktu bencana lain selalu saja carut marut akibat banyaknya penyalur yang tidak menyediakan waktu cukup untuk 'singgah' di kehidupan kaum korban yang kehilangan asa. 


Bukan.... 

Ini pelajaran dari penuturan singkat seorang relawan, akibat dialog singkat yang secara mengalir kami lakukan. 



Ia seorang paruh baya. Sebut saja si D. 

Wajah dan tampilannya tampak jauh lebih muda dari usianya. Ia juga terlihat gesit, cekatan dan penuh vitalitas. Tapi, matanya membersitkan kesenduan. 


"Kenapa datang ke sini sebagai relawan?" Tanyanya mengagetkan. 

"Semua diawali banyak peristiwa...," jawabku singkat.

"Apa itu?" 

"Saat gempa Jogja terjadi, saya tinggal di kota bersebelahan, ikut merasakan gempa, menerima kedatangan para pengungsi perempuan dan anak-anak, lalu terlibat membagikan bantuan ke sebagian korban. 

"Saat terjadi gempa Padang, kota kelahiran ayahanda kami, berdekatan pula dengan kota kelahiran isteri, saya ikut menemani para korban terutama di kabupaten Agam, hampir 3 bulan lamanya. 

"Saat erupsi Merapi terjadi di akhir 1010, saya sedang tinggal di Magelang, tepatnya di kota grabag, di mana ujung Srumbung di mana warganya adalah pengungsi terbanyak, bila melalui jalan pintas bisa ditempuh 15-20 menit saja... 

"Jadi, saya terlibat aksi sukarelawan karena kedekatan pisik dengan banyak kejadian bencana, yang akhirnya melahirkan kedekatan psikis dan emosional." Jelas saya sedikit panjang. 

"Anda sendiri kenapa datang sebagai sukarelawan?" Saya balik bertanya. 

"Mungkin untuk melebur dosa-dosa saya...." 

Saya terkejut dengan jawaban yang tidak saya sangka-sangka. 

"Setidaknya, itulah yang saya harapkan dari Allah, agar mengampuni dosa-dosa saya selama ini, di antaranya, dengan upaya yang tidak seberapa ini...." 

Ia lalu menuturkan kisahnya.

Tumbuh dewasa di sebuah kota besar, membuatnya terbiasa hidup layaknya banyak anak-anak muda jaman sekarang, yang menghabiskan setiap waktu dengan hura-hura. Hanya saja, ia tak pernah menyentuh minuman keras, berzina, mencuri, apalagi terlibat narkoba. 

Di pertengahan usia remaja, kemudi hidupnya berganti haluan. Salah satu sahabat karibnya, mengajaknya hadir di berbagai kajian keagamaan.

Hidupnya berubah. Ia menjadi sosok yang rajin beribadah, gemar berdzikir, bergaul dengan orang-orang shalih, dan rutin menghadiri pengajian. 

Itu berjalan 7 tahun lamanya, hingga akhirnya ia menikah dengan gadis idamannya yang cantik dan salehah. Hingga beberapa tahun menikah, semua berjalan seperti biasanya.

Namun di tahun ketiga, selepas kelahiran anak kedua, terjadi hal-hal yang kembali mengubah jalan hidupnya.... 

Diawali dengan perselisihannya dengan seorang bendahara masjid yang menilap uang jamaah, yang saat ia tegur, malah berdalih dengan beragam dalil dan argumentasi ilmiah yang membuatnya terbungkam.

Lalu guru mengajinya yang kedapatan melakukan penipuan pada banyak orang, dalam berbagai kasus dan dengan beragam modus serta akal bulus.

Puncaknya, teman yang mengajaknya mengaji ketahuan berzina dengan pelacur, tapi saat akan menzinainya ia melakukan akad nikah sepihak dalam hotel, dan seusai itu ia menceraikannya kembali, sebelum menutup pintu hotel. [Mungkin sejenis nikah mut'ah ala kaum SYI'AH dalam terapan yang paling 'nyeleneh' dan membingungkan.] 

Si teman yang kala itu sudah berstatus sebagai ustadz juga melakukan banyak perbuatan dosa lain, tetapi selalu saja memiliki dalih untuk melegalkan setiap aksi dosanya.

Ia mulai limbung.
Perubahan hidup yang ia jalani untuk menjadi orang yang lebih baik, kini mengalami krisis nyata, diawali dengan krisis kepercayaan terhadap orang-orang yang menjadi panutannya. 

Ia tak pernah menyangka, bahwa mereka yang ia anggap saleh selama ini, ternyata menyembunyikan kebusukan yang meresahkan bahkan menjijikkan.

Ia sampai beranggapan bahwa bisa jadi semua orang yang tampak saleh dan salehah ya seperti itu juga. Hanya indah di cover, tapi selalu busuk di dalamnya. 

Ia terpedaya dalam buruksangka, akibat kekecewaan yang mendera hatinya.

Kebingungan itu mendorongnya kembali pada kehidupan lamanya, yang bahkan lebih parah lagi.

Kali ini bukan hanya hidup berhura-hura di usianya yang tidak muda lagi, tapi ia mulai kecanduan miras, berjudi dan berzina.

Ia tak kenal lagi shalat, membaca Al Quran, apalagi berdzikir dan hadir di pengajian.

Keluarga, apalagi isterinya, sangat terpukul dengan perubahan gaya hidupnya yang begitu tiba-tiba.

Semua mencoba menasihatinya untuk kembali ke jalan yang benar, namun ia tak sedikitpun menggubrisnya.

Berbagai kejadian, peristiwa, hingga bencana yang menimpa kota tinggalnya, tak sedikitpun menyurutkan minatnya untuk tetap menjalani kehidupan kelamnya.

Saat setiap nasihat, ceramah, petuah alim ulama, tak sedikitpun bisa melekat di hatinya, ia tiba-tiba dikejutkan oleh dua kejadian kecil yang tampak tak ada nilainya, bahkan hina dina, tapi menyimpan misteri dan keganjilan yang menggelitik jiwa....

Pertama, saat ia menjalan kebiasaanya bermalam dengan pelacur yang baru dia kenal. Ya, pelacur!

Ia bayar dimuka.

Selesai melakukan aksinya, sebagai pengusaha yang cukup sukses, ia mengeluarkan uang dan ia berikan kepada pelacur itu sebagai tips.

Betapa terkejutnya ia, saat si pelacur menampiknya.

"Kami dilarang menerima tips," ujarnya.

"Di sini ada CCTV?" Tanyanya.

Pelacur itu menggeleng.

"Memang ada yang tahu?"

Kembali menggeleng.

"Kalau begitu terima saja," tukasnya.

"Tidak boleh," tegasnya marah.

Aneeh...! 

Ini pekerjaan haram. Uang yang ia dapat dari melacur juga uang haram. Lalu apa arti kejujurannya?!

Kejadian kedua,

Masih sama dengan kejadian di atas. Ia kembali berjumpa dengan seorang pelacur.

Saat segala aksi maksiat itu terjadi, si perempuan bercerita tentang hidupnya.

Ia tinggal di kampung sebagai anak tunggal dari sepasang suami isteri sederhana. Sejatinya hidup mereka lumayan berkecukupan. Tapi orang tuanya memelihara belasan anak yatim di rumahnya.

Sesuatu yang bagus. Tapi mungkin terlalu berat untuk mereka pikul sendirian. 

Sampai akhirnya anak perempuan mereka terpaksa putus sekolah karena kekurangan biaya. Ujung-ujungnya si anak memilih merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.

Ia bekerja di toko kosmetik besar dengan gaji lumayan. Cukup untuk hidup mandiri sederhana tanpa bantuan orang tua.

Tapi persoalan kembali muncul.

Tahu si anak sudah berpenghasilan, si orang tua meminta bantuan setiap bulan untuk menyokong penghidupan anak-anak yatim.

Si anak mulai gamang. Gaji yang hanya cukup untuk hidup sendiri di kota besar yang juga berbiaya besar, kini harus pula dibagi bersama santri-santri asuhan orang tuanya.

Akhirnya ia terjebak di pekerjaan ini. Siang bekerja di toko kosmetik. Malam melacurkan diri. Wal 'iyaaadzu billah.

Katanya, semua penghasilan malamnya ia kirimkan ke kampung sebagai 'sedekah' buat anak-anak yatim.

Si D mendengarkan dengan acuh tak acuh. Siapa yang sudi memercayai bualan seorang pelacur...?

Tapi ia cukup kaget saat mendengar perempuan itu menyebutkan kitab-kitab yang dibutuhkan para santri yatim tersebut dan melafalkan nama-namanya dalam bahasa Arab yang fasih sekali...!

Saat melakukan pembayaran, si perempuan meminta si D mengirimkan saja ke sebuah rekening. Pada proses pengiriman via transfer online, muncullah nama pemilik rekening. Ternyata, betul, yang terlihat nama sebuah pesantren dalam BAHASA ARAB! Jadi, ia mengirim bayaran pelacur sebagai infaq buat PESANTREN?!

Lelucon apa ini?!

"Itung-itung ikut infaq buat anak-anak yatim, Mas," ungkap perempuan itu sambil tersenyum. 

Kepalanya semakin pusing....

Saat si perempuan ke belakang, si D secara iseng melongok isi tas perempuan itu. Betapa terkejutnya saat ia melihat secarik kain mukena, sebuah mushhaf Al Quran, dan sebuah buku kecil berbahasa Arab yang ia sendiri tak mampu membacanya...! 

Saat si perempuan keluar meninggalkan kamar hotel, si D duduk termenung.

Ia melihat sebuah PARADOKS.

Pikirannya melayang-layang seolah mencoba menggapai dan menyatukan puzzle-puzzle yang terpisah.

Jiwanya bergolak. Hatinya merintih. 

Ia mulai mampu membedakan antara KEBENARAN dengan yang mengaku BENAR.

Bahwa tak ada manusia yang SEMPURNA. Bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui segalanya, yang lahir maupun yang batin.

Tubuhnya bergetar. Ia menangis hebat. Air mata banjir membasahi wajahnya.

Malam itu, untuk pertama kali sejak bertahun-tahun ini, ia kembali bersentuhan dengan air wudhu. Kembali bersimpuh dan bersujud.

Hatinya yang beku, kembali mencair, meski pada tempat dan cara yang tidak semestinya.... 

الحكمة ضالة المؤمن، أينما وجدها فهو أحق بها

(Hikmah itu benda hilang milik orang beriman. Di mana pun ia mendapatkannya, ia yang paling berhak memilikinya.

ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا

(Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sebagian orang karena mereka menghalang-halangi kamu, mendorongmu berlaku tidak adil. QS Al-Maaidah/5: 8.)

Dituturkan kembali oleh:

ABU UMAR BASYIR 

*Gambar dari hasil pencarian Google





Posting Komentar Blogger

 
Top