Jakarta - Fong Yun Wah atau dikenal juga dengan Henry
Fong merupakan konglomerat asal Hong Kong yang mendedikasikan dirinya
untuk pendidikan dan juga sejumlah kegiatan amal. Ia memiliki kekayaan
mencapai US$ 2,8 miliar atau setara dengan Rp 39,35 triliun (kurs Rp
14.000).
Di usianya yang telah menginjak 94 tahun ini, ia masih menjabat sebagai CEO Hip Shing Hong Group, perusahaan real estate raksasa miliknya yang berdiri sejak tahun 1948. Anaknya, David Fong Man Hung menjabat sebagai direktur pelaksana di Hip Shing Hong. Henry juga masih memimpin perusahaan investasi miliknya, Kam Wah.
Sejak kecil, Henry telah belajar menjadi pribadi yang dermawan. Sampai saat ini, ia telah mendonasikan uangnya untuk sejumlah kegiatan amal di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga kesejahteraan sosial sebanyak US$ 64 juta atau setara dengan Rp 899 miliar.
Di usianya yang telah menginjak 94 tahun ini, ia masih menjabat sebagai CEO Hip Shing Hong Group, perusahaan real estate raksasa miliknya yang berdiri sejak tahun 1948. Anaknya, David Fong Man Hung menjabat sebagai direktur pelaksana di Hip Shing Hong. Henry juga masih memimpin perusahaan investasi miliknya, Kam Wah.
Sejak kecil, Henry telah belajar menjadi pribadi yang dermawan. Sampai saat ini, ia telah mendonasikan uangnya untuk sejumlah kegiatan amal di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga kesejahteraan sosial sebanyak US$ 64 juta atau setara dengan Rp 899 miliar.
Pria kelahiran tahun 1924 tersebut pindah ke Hong Kong ketika umurnya
baru menginjak 6 tahun. Sejak itu, ia telah membantu ayahnya menjalankan
bisnis. Di umur 8 tahun, ia harus menerima kenyataan pahit atas
meninggalnya ibu Henry.
Kemudian, ia juga menghadapi gejolak di tempat tinggalnya pada saat itu yang tengah mengalami invasi dari Jepang (sekitar tahun 1941) dan menyebabkan ia harus menghentikan pendidikan menengahnya. Namun, karena perang tersebut Henry belajar menjadi orang yang penolong, melihat ayahnya yang setiap hari memasak untuk para pengungsi perang.
Meski demikian, Henry tak pernah menyesal karena pendidikannya tak bisa ia selesaikan yang artinya ia juga kehilangan kesempatan untuk menjadi guru, cita-citanya. Namun, ia terus berjuang melanjutkan pendidikannya di tahun-tahun selanjutnya.
Ia pun memperoleh gelar kehormatan sebagai profesor di Universitas La Trobe Australia dan juga beberapa gelar kehormatan di universitas lainnya.
Kemudian, ia juga menghadapi gejolak di tempat tinggalnya pada saat itu yang tengah mengalami invasi dari Jepang (sekitar tahun 1941) dan menyebabkan ia harus menghentikan pendidikan menengahnya. Namun, karena perang tersebut Henry belajar menjadi orang yang penolong, melihat ayahnya yang setiap hari memasak untuk para pengungsi perang.
Meski demikian, Henry tak pernah menyesal karena pendidikannya tak bisa ia selesaikan yang artinya ia juga kehilangan kesempatan untuk menjadi guru, cita-citanya. Namun, ia terus berjuang melanjutkan pendidikannya di tahun-tahun selanjutnya.
Ia pun memperoleh gelar kehormatan sebagai profesor di Universitas La Trobe Australia dan juga beberapa gelar kehormatan di universitas lainnya.
Henry tak menghentikan langkahnya untuk terus beramal. Ia telah
memberikan donasi kepada sekitar 400 kegiatan amal di bidang pendidikan
di 31 kota di wilayah otonom di Hong Kong, Taiwan, dan daratan China. Ia
merupakan sponsor utama di sejumlah taman kanak-kanak dan sekolah,
serta membangun banyak fasilitas tambahan seperti laboratorium komputer
dan auditorium.
Di bidang kesehatan, ia juga menjadi pendonasi besar. Ia telah mendirikan 17 fasilitas medis di daerah yang miskin dan terpencil. Kemudian, ia juga membangun pusat penelitian kanker payudara dan juga pencegahan AIDS.
Henry juga mendukung sejumlah program antariksa China. Ia mendonasikan uangnya ke pusat peluncuran satelit di Xinchang dan Jiuquan. Bahkan, ada satu asteroid yang dinamai dengan namanya pada tahun 1994, dan juga satu asteroid yang dinamai dengan nama istrinya, Fong Tam Yuen Leung pada tahun 2006.
Di luar masa berjayanya, Henry tak pernah berhenti menyumbangkan penghasilannya. David menceritakan, pada tahun 1967 perusahaan Henry sempat mengalami krisis. Namun, Henry dengan tegas tetap mendonasikan sejumlah pendapatan perusahaannya yang kian menipis.
"Kekayaan datang dan pergi, tetapi sumbangan amal akan terus ada dan dapat diwariskan ke depannnya, karena tak seorang pun, bahkan bank yang dapat mengambilnya," itu kata-kata Henry yang terus diingat oleh anaknya.
Di bidang kesehatan, ia juga menjadi pendonasi besar. Ia telah mendirikan 17 fasilitas medis di daerah yang miskin dan terpencil. Kemudian, ia juga membangun pusat penelitian kanker payudara dan juga pencegahan AIDS.
Henry juga mendukung sejumlah program antariksa China. Ia mendonasikan uangnya ke pusat peluncuran satelit di Xinchang dan Jiuquan. Bahkan, ada satu asteroid yang dinamai dengan namanya pada tahun 1994, dan juga satu asteroid yang dinamai dengan nama istrinya, Fong Tam Yuen Leung pada tahun 2006.
Di luar masa berjayanya, Henry tak pernah berhenti menyumbangkan penghasilannya. David menceritakan, pada tahun 1967 perusahaan Henry sempat mengalami krisis. Namun, Henry dengan tegas tetap mendonasikan sejumlah pendapatan perusahaannya yang kian menipis.
"Kekayaan datang dan pergi, tetapi sumbangan amal akan terus ada dan dapat diwariskan ke depannnya, karena tak seorang pun, bahkan bank yang dapat mengambilnya," itu kata-kata Henry yang terus diingat oleh anaknya.
Sumber: https://finance.detik.com/sosok/d-4620854/kisah-konglomerat-hong-kong-berharta-rp-39-t-yang-dermawan
Henry Fong. Foto: Dok. Forbes |
Posting Komentar Blogger Facebook