Ivan Lanin awalnya pemrogram komputer. Geek. Twitter dan Wikipedia melesatkannya ke sebuah wilayah yang tak pernah terbayangkan baginya.
Dua belas tahun setelah membuka akun di Twitter, Ivan Razela Lanin mendapat sebuah pertanyaan di linimasanya.
"Selamat
dini hari, Uda @ivanlanin," begitu tulis seorang pengikutnya pada pukul
00.03, "mau nanya mengenai struktur kalimat. Kira-kira struktur kalimat
yang baik agar dia menerima cinta saya gimana ya, Uda?"
Ivan
Lanin, begitu dia lazim disapa, menjawab dengan takzim sembilan jam
kemudian. "Cinta itu urusan hati," demikian dia membuka kalimat. "Sebaik
apa pun struktur kalimatmu, hati yang tertutup tidak akan dapat
menerimanya. Luluhkan dengan perhatian dan waktu".
Kata-kata
jahanam itu mendapat 424 ritwit dan disukai oleh 584 akun. Dan di antara
30-an komentar yang menyertainya, sebaris--tentang penulisan Maha Esa
dan mahasiswa--dia tanggapi dengan wibawa seorang aktivis bahasa
Indonesia nan disegani di ranah media sosial.
"Dua cara penulisan
'maha': 1. Dipisah dengan kata berimbuhan: Maha Penyayang 2. Dirangkai
dengan kata dasar: Mahakuasa, mahasiswa," begitu bunyi kicauan balasan
Ivan. Dia melampirkan selarik catatan. Lema "Maha Esa" ditulis terpisah
karena telanjur dicantumkan pada Pancasila, dan kapitalisasi hanya
dipakai untuk nama Tuhan.
Itu baru secuplik misal kiprahnya. Anda bisa beroleh lebih banyak contoh kalau mau lebih telaten menyusuri akun @ivanlanin.
Lagian,
aktivitasnya tak cuma bertaut dengan maklumat tentang rumusan standar
tata bahasa Indonesia atau entri kamus. Tapi pula memperkenalkan--atau
mengajukan ulang--padanan bahasa Indonesia untuk istilah yang berasal
dari bahasa Inggris.
Simak saja beberapa ajuannya berikut: dwitahunan untuk biennale, terjun lenting untuk bungee jumping, perusahaan rintisan untuk startup company, salin-rekat untuk copy-paste.
Anda
masih percaya diri untuk menulis "handai taulan"? Kekeh menulis "di
minum" atau hakulyakin mengetikkan frasa "olah raga"? Kalau malas buka
kamus, tapi berlangganan kuota data media sosial, sila masuk Twitter dan
colek Ivan. Boleh jadi doski bakal menggoyang iman berbahasa sampeyan.
Namun, jangan baper kalau respons yang diharapkan tak kunjung tiba.
"Twitter
itu bukan yang menjadi perhatian penuh saya. Saya biasa puasa tanpa
Twitter. Enam bulan pun bisa. Emang enggak mikirin juga. Masuk ke bagian
sebutan (mention). Jawab semua pertanyaan. Terus selesai. Kalau
kira-kira masih ada ide yang disampaikan saya kirim twit. Kalau enggak,
ya selesai," ujar sosok yang memiliki 677 ribu pengikut itu.
Dia bilang begitu waktu Beritagar.id menemuinya di Coffee Club, sebuah kedai kopi ramai pengunjung di Plasa Senayan, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2019).
Petang
itu, pria berusia 44 tersebut baru saja selesai mengampu sebuah majelis
profesional. Tentu berkait dengan bidang keahliannya, yakni tata kelola
perusahaan dan manajemen risiko. Suaranya bindeng. Tetapi, dia tetap
asyik merokok.
Di sela percakapan, dia sempat bilang bakal
pelan-pelan "meninggalkan kegiatan konsultasi" seperti barusan dan
berfokus ke kebahasaan. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan,
meski masuk di akal.
Padahal, waktu bikin akun Twitter pada
2007, aktivismenya di bidang bahasa belum kentara. Jika Saudara menengok
cuitan-cuitannya ketika itu, kebanyakan isinya curhat. Rata-rata
disampaikan dalam bahasa Inggris.
Namun, beberapa tahun
belakangan layanan jejaring sosial itu bikin Ivan Lanin kesohor. Dia
menjadi semacam merek premium semesta perbahasaindonesiaan. Namanya acap
kali disebut untuk menanggapi pelbagai kasus kebahasaan. Dari yang
remeh-temeh dan menjadi problem kronis seperti penggunaan "di-" sebagai
awalan atau kata depan, hingga kasus lebih serius seperti salah kaprah
penggunaan suatu kata oleh khalayak luas.
Denyut Ivan Lanin
seperti menghidupkan gairah untuk berbahasa Indonesia secara apik di
Twitter. Hal yang bahkan di luar jagat virtual pun masih sulit mewujud.
Salah satu efek kegiatannya itu adalah kelahiran tagar "terivanlanin".
Istilah yang merujuk pada aktivitas warga Twitter ketika menyinggung
soal-soal kebahasaan. Baik serius, atau main-main.
"Saya memberi
contoh, sebenarnya. Di media sosial pun ternyata orang bisa kok
berbahasa yang baku. Enggak terhanyut dengan gaya bahasa zaman sekarang.
Saya membuka jalan untuk orang-orang lain yang sekaku saya--yang lebih
kaku dari saya--untuk nanti enggak merasa aneh. Karena orang sudah
terbiasa dengan saya. Biarin aja saya jadi tumbal," katanya.
Pada mulanya geek
Bawaan kaku itu bisa jadi warisan dari laku bertahun-tahun sebagai geek. Mohon maaf kalau tulisan ini tidak sanggup menyodorkan padanan kata "geek"
dalam bahasa Indonesia. Bahkan, Ivan Lanin pun belum bisa menemukan
imbangannya. Dia sempat menyeletuk, "kutu komputer". Namun, itu
menurutnya tidak pas.
Urban Dictionary mendefinisikan geek
sebagai orang yang getol menyuntuki sesuatu sejadi-jadinya. Biasanya
dilekatkan pada para pemrogram komputer seperti Ivan. Betul. Meski
sekolahan resminya Teknik Kimia ITB, Ivan menguasai pemrograman
komputer. Istilah kerennya, coder.
Lulusan SMAN 3,
Bandung, itu tercemplung dunia pemrograman sejak tingkat tiga kuliah
pada 1995. Kala itu, komputer mulai populer. Penggunaan Linux--perangkat
lunak bebas dan sumber terbuka--mulai marak karena sistemnya fleksibel.
Sekarang bahkan sudah didukung banyak perusahaan komputer besar.
Namun,
masuk ITB justru tak menentramkannya. Pasalnya, dia merasa tertipu.
Teknik Kimia tak selaras dengan bayangannya. Dia kira, jurusan itu bakal
membawanya mengenali struktur, komposisi, dan sifat suatu materi.
Ternyata dia salah.
"Saya belajarnya fisika dan kalkulus. Kimia
fokus ke bendanya. Teknik kimia mengolah benda itu menjadi sesuatu yang
bisa dikonsumsi manusia. Jadi, akhirnya kerjaannya bikin pabrik,"
ujarnya.
Walau demikian, dia masih bisa menikmati hari-hari
kuliah karena punya pacar di jurusannya. Seorang perempuan yang kini
menjadi istrinya. Kecuali itu, dia pun bergiat di sejumlah organisasi:
teater kampus (Stema ITB), pers mahasiswa (Boulevard), dan unit basket
(UBG).
Di Stema, Ivan pernah memainkan Kapai-Kapai, lakon
lima babak karya Arifin C. Noer. Naskah yang dianggap mahakarya Arifin,
dan sering dimainkan banyak kelompok teater. Tetapi, Ivan tak pernah
menjadi pemeran utama. Dia mengaku cuma sering "jadi tukang cari uang
dengan menyewakan properti lampu pertunjukan".
Akan hal UBG, dia sampai bisa nongkrong di lapangan kampusnya hingga enam jam. Alasannya, karena tak ada kerjaan.
"Waktu
itu di Bandung ngekos. Tidak ada bedanya tidur di kos sama di kampus.
Waktu tidur di kampus, terpaksa bangun karena tukang sapu udah mulai bebersih. Bangun tidur langsung main basket sampai jam 12 siang," katanya. "Saya bukan mahasiswa yang baik".
Maka,
ketika ada seniornya di kampus yang merintis perusahaan aplikasi
berbasis Linux mengajaknya bergabung pada 1995, dia sontak mengangguk.
"Daripada enggak ada juntrungannya tiap hari main basket doang," ujar
Ivan.
Sejak itu, kepiawaiannya dalam pemrograman komputer kian
terasah. Setelah lulus dari ITB pada 1999, kecakapan tersebut menjadi
modal terpokoknya dalam menciptakan berbagai aplikasi. Ivan pun terus
berkutat di bidang komputer hingga 2007.
Kecanduan Wikipedia
Pada
2006, Wikipedia merontokkan keteraturan Ivan. Itu pun tak disengaja.
Pangkalnya kemestian tugas. Ivan sedang bikin perangkat lunak untuk
menghitung pajak penghasilan, dan butuh informasi tentangnya. Karena
itu, dia menggali informasi dari internet. Pencarian itu berujung ke
Wikipedia.
Sialnya, artikel tentang pajak penghasilan di
Wikipedia bahasa Indonesia tak selengkap yang terdapat dalam versi
bahasa Inggris. Dia pun tergerak untuk menyumbang bahan. Dan kenyataan
itu tetap dikenangnya, selain pula dicatat Wikipedia. Pada 18 Februari 2006, Ivan menulis artikel tentang pajak penghasilan di ensiklopedia multibahasa daring tersebut.
"Bisa
magabut (makan gaji buta) di kantor. Pemrogram komputer datang pukul
tujuh pagi, pulang pukul 12 malam. Kadang-kadang malah enggak pulang.
Sempat ada masa saya makan gaji buta. Kerjaannya bikin Wikipedia aja
terus," katanya.
Pria yang kakeknya--Lanin Sutan Saidi--berasal
dari Nagari Balingka, kawasan sejuk di lereng Gunung Singgalang, Sumatra
Barat, itu tak berfokus pada satu hal ketika menyumbang bahan. Dia
ingin meluaskan pengetahuannya. Dia bisa menulis tentang stasiun kereta
api. Kali lain, mengenai Paus dalam tradisi Gereja Katolik.
"Misalnya saya mau mencari semua padanan tentang semua jenis bentang alam--landform--di Indonesia. Misalnya fjord, glacier. Apa bedanya channel sama strait. Dua-duanya selat, kan? Begitu ke satu bidang tertentu, ya saya urusin itu," ujarnya.
Dia menyebut diri penulis rintisan. Biasanya hanya menulis sepanjang
satu atau dua paragraf, dan membiarkan tulisan dikembangkan oleh
kontributor lain. Di Wikipedia, jumlah penulis rintisan tidak sedikit.
Meski
begitu, Ivan pernah pula menulis artikel secara mendalam. Misalnya
tentang Jeanne d'Arc, perempuan buta huruf asal Prancis yang mati muda
karena dieksekusi Inggris pada abad ke-15. Berhari-hari Ivan mengetik
artikel tentangnya. Tulisan itu lantas jadi artikel pilihan.
"Kagum
sama dia karena masih kecil tapi sangat berani ngomong di depan raja.
Habis itu (mati) dihukum bakar. Sial banget nasibnya. Anak kecil, 17
tahun. Kita 17 tahun ngapain coba? Dia 17 tahun udah mimpin orang
menghadapi Inggris. Itu luar biasa banget," katanya.
Selama 13 tahun bergiat di sana, Ivan telah diganjar banyak penghargaan dari komunitas. Salah satunya Bintang Kehormatan, diberikan pada 2010, dan membuatnya menjadi anggota kehormatan. Selain itu, dia pun pernah mendapat amanat untuk menjadi pengurus dan birokrat.
Berujung di ranah kebahasaan
Ada
pepatah lama. Lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut.
Kepandaian atau kemahiran didapat karena rajin berlatih. Waktu mulai
menyumbang tulisan di Wikipedia Indonesia, Ivan menginsafi kekurangannya
dalam berbahasa Indonesia. Maka, dia berusaha keras mempelajari
gramatikanya. Semua demi menghasilkan tulisan yang terbaca.
Problemnya
adalah perkara itu tak mudah dipecahkan. Ivan awalnya berpikir bahasa
Indonesia sama dengan bahasa pemrograman. Takkan susah mempelajarinya.
Tinggal menyigi pola dan aturannya.
Nyatanya, "lebih susah dari
belajar bahasa pemrograman," ujarnya. "Bahasa pemrograman rujukannya
banyak. Situs web yang memberi jawaban atas banyak pertanyaan banyak
banget."
Akhirnya dia mulai berburu buku. Referensi yang pertama
kali dia pakai belajar TBBI. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Terbitan
Balai Pustaka. Namun, dalam hematnya, buku itu terlalu jelimet. Sulit
dipahami. Kini buku-buku tentang kebahasaan telah terkumpul di satu
lemari. Di antara yang paling mengesankannya adalah kumpulan tulisan
bertajuk Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik.
Pengaruh
dari Jim Geovedi dan Totok Suhardijanto menambah kegirahannya. Jim
dikenal sebagai pakar keamanan teknologi informasi dan DJ profesional
yang salah satu interesnya Natural Language Processing (NLP). Totok dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang menguasai linguistik komputasi.
"Pada
dasarnya saya itu pemrogram komputer. Kalau ada pengembangan dari
bahasa pasti yang ada hubungannya dengan aplikasi komputer, khususnya
kecerdasan buatan," katanya.
Kawin-mawin sektor komputer dan linguistik itu sudah menghasilkan beberapa produk. Contohnya saja Kateglo.com, yang merupakan kependekan dari kamus, tesaurus, dan glosarium. Disediakan secara gratis.
Pernah ada pula asalkata.com.
Situs yang berupaya memberikan etimologi (asal-usul kata) bahasa
Indonesia. Basis datanya diambil dari karya Russell Jones--seorang
orientalis asal Inggris--yang berjudul Loan Words in Indonesian and Malay.
Waktu
Eko Endarmoko--penyusun tesaurus bahasa Indonesia pertama--mengerjakan
proyek legendarisnya, Ivan sedikit meringankan beban Eko dengan
membuatkannya aplikasi terlebih dulu.
"Saya enggak kebayang kalau
pakai coret-coretan," ujarnya tentang pengalaman kerja bareng Eko,
"editornya 13 orang. Akhirnya bikin (aplikasi) itu seminggu".
Masih
banyak lagi yang dia impikan. Di antaranya, mengembangkan laman
pengecekan tata bahasa dan ejaan--semacam Grammarly--versi bahasa
Indonesia. Membuat situs multibahasa daerah. Mengerjakan kamus terbalik.
"Saya misalnya juga mau bikin alat pemadan kata otomatis. Ketemu
bahasa Inggris, cemplungin ke sana, lalu keluar padanannya. Intinya,
pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh ahli bisa dilakukan
oleh mesin," katanya.
Menakutkan? Rasanya lebih baik daripada
mesti disemprit terus sama polisi bahasa di sana-sini. Ivan pun merasa
pekerjaannya dalam mengembangkan aplikasi bahasa lebih berfaedah
daripada cuma melayangkan protes dan keluhan. Satu sikap yang bersandar
pada kesadaran bahwa bahasa tak melulu mengenai ragam formal, tapi pun
informal. Lisan atau tulisan.
Sudah begitu, jika ada yang mendebatnya, dia kini bisa menyikapi dengan, dalam kata-katanya, "woles.
Santai". Sebab, menurutnya, lingkup ilmu humaniora membebaskan orang
berpendapat. Dalil yang disorongkan bisa benar atau salah, bergantung
sudut pandang.
"Beda dengan formula F=ma," ujarnya menyitir rumus
hukum Newton tentang gerak. "Kalau itu, hukum alam. Pasti benar. Ada
perbedaan antara rumus fisika dengan kaidah bahasa".
Agar terus
membumi, Ivan Lanin juga terlibat kerja dengan Badan Bahasa mulai 2012.
Pertama sebagai juri untuk blog kebahasaan. Lalu sejak 2014 disertakan
dalam sidang tahunan komisi istilah. Dia juga aktif memberikan pelatihan
kebahasaan bagi pekerja profesional, dan tahun ini mulai memiliki wadah
khusus untuk itu. Namanya Lingua Bahasa.
"Transformasi yang
terjadi pada saya lumayan besar. 2006 malas banget ngomong sama orang,
sekarang seneng banget ngomong. Dulu enggak jago-jago banget nulis,
sekarang lumayan. Tidak ada yang mustahil. Banyak orang bilang, ‘saya
enggak bakat ngomong di depan publik’, atau ‘saya enggak bisa nulis’.
Enggak. Transformasi itu bisa, kok".
Sumber: https://beritagar.id/artikel/figur/siapa-takut-ivan-lanin
Posting Komentar Blogger Facebook