Pihak sekolah SMA Putri di kota
Shan’a’ yang merupakan ibu kota Yaman menetapkan kebijakan adanya pemeriksaan
mendadak bagi seluruh siswi di dalam kelas.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh salah seorang pegawai sekolah bahwa tentunya
pemeriksaan itu bertujuan merazia barang-barang yang di larang di bawa ke dalam
sekolah, seperti: telepon genggam yang di lengkapi dengan kamera, foto-foto,
surat-surat, alat-alat kecantikan dan lain sebagainya. Yang mana seharusnya
memang sebuah lembaga pendidikan sebagai pusat ilmu bukan untuk hal-hal yang
tidak baik.
Lantas pihak sekolah pun melakukan sweeping di seluruh kelas dengan penuh semangat. Mereka keluar kelas, masuk kelas lain.
Sementara tas para siswi terbuka di hadapan mereka. Tas-tas tersebut tidak berisi apapun melainkan beberapa buku, pulpen, dan peralatan sekolah lainnya.
Semua kelas sudah dirazia, hanya tersisa satu kelas saja. Padanya terdapat seorang siswi yang menceritakan kisah ini. Apa gerangan yang terjadi?!
Seperti biasa, dengan penuh percaya diri tim pemeriksa masuk ke dalam kelas. Mereka lantas meminta izin untuk memeriksa tas sekolah para siswi di sana. Pemeriksaan pun dimulai.
Di salah satu sudut kelas ada seorang siswi yang di kenal sangat tertutup dan pemalu. Ia juga dikenal sebagai seorang siswi yang berakhlak baik dan santun. Ia jarang berbaur dengan siswi-siswi lainnya dan memilih menyendiri. Padahal ia sangat pintar dan menonjol dalam belajar.
Ia memandang tim pemeriksa dengan pandangan penuh ketakutan, sementara tangannya berada di dalam tas miliknya! Semakin dekat gilirannya untuk diperiksa, semakin tampak rasa takut pada raut wajahnya.
Apakah sebenarnya yang disembunyikan siswi tersebut dalam tasnya?!
Tidak lama kemudian gilirannya tiba untuk diperiksa....
Dia memegangi tasnya dengan kuat, seolah mengatakan demi Allah kalian tidak boleh membukanya!
“Buka tasmu, wahai putriku.”
Siswi tersebut memandangi pemeriksa dengan pandangan sedih. Tasnya tetap dalam pelukan.
“Berikan tasmu….”
Ia menoleh dan menjerit, “Tidak! Tidak!”
Perdebatan pun berlangsung tajam.
“Berikanlah tasmu....”
“Tidak!”
Apa yang membuat siswi tersebut menolak untuk diperiksa tasnya? Apa yang ia takutkan?
Keributan terjadi dan tangan mereka saling berebut. Sementara tas tersebut masih dipegangnya erat. Para guru belum berhasil merampas tas dari tangan siswi tersebut karena ia memeluknya secara mati-matian.
Siswi itu lalu menangis sejadi-jadinya. Siswi-siswi lain terkejut. Para guru yang mengenalnya sebagai seorang siswi yang pintar dan disiplin pun terkejut dengan kejadian tersebut.
Lalu hening....
Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi dan apa gerangan yang ada di dalam tas siswi tersebut. Apakah mungkin siswi tersebut melakukan suatu cela yang berat?
Setelah diskusi, tim pemeriksa sepakat untuk membawa siswi tersebut ke kantor sekolah, dengan penuh pengawasan agar siswi itu tidak dapat membuang sesuatu dari dalam tasnya, sehingga ia terbebas begitu saja.
Air mata sang siswi mengalir deras layaknya hujan....
Ia memperhatikan orang-orang sekitarnya dengan penuh kebencian. Ia menyangka mereka akan mempermalukannya di depan umum.
Menanggapi hal itu dan mengingat perilaku sang siswi yang baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran, kepala sekolah memerintahkan agar hadirin membubarkan diri, sehingga yang tersisa hanya para tim pemeriksa saja.
Kepala sekolah berusaha menenangkan siswi malang tersebut, lalu bertanya dengan halus, “Apa yang engkau sembunyikan wahai putriku?”
Melihat simpati kepala sekolah, siswi itu pun membuka tasnya….
Ya Allah, apa sebenarnya benda tersebut?
Di dalam tas tersebut tidak ada benda-benda terlarang, haram, telepon genggam atau foto. Tidak ada dalam tas itu melainkan sisa-sisa roti. Ya, hanya remah-remah roti.
Setelah merasa tenang, siswi itu bercerita, “Sisa-sisa roti ini adalah dari para siswi yang jatuh atau dibuang di tanah, lalu aku kumpulkan untuk kemudian aku sarapan dengan sebagiannya dan membawa sisanya kepada keluargaku. Ibu dan saudari-saudariku di rumah tidak memiliki sesuatu untuk mereka santap di siang dan malam hari bila aku tidak membawakan untuk mereka sisa-sisa roti ini.
“Kami adalah keluarga fakir yang tidak memiliki apa-apa. Kami tidak punya kerabat dan tidak ada yang peduli pada kami.
“Inilah yang membuat aku menolak untuk membuka tas, agar aku tidak dipermalukan di hadapan teman-temanku di kelas. Kemungkinan mereka akan terus mencelaku di sekolah, sehingga aku tidak dapat lagi meneruskan pendidikanku karena malu. Untuk itu, saya mohon maaf sekali kepada Anda semua atas perilaku saya yang tidak sopan.”
Seketika semua yang hadir menangis di hadapan siswi yang mulia tersebut.
Sumber: kisahislam.net (dari Majalah Islam Internasional Qiblati, dan dengan mengutip Grup WA An-Nashihah)
Lantas pihak sekolah pun melakukan sweeping di seluruh kelas dengan penuh semangat. Mereka keluar kelas, masuk kelas lain.
Sementara tas para siswi terbuka di hadapan mereka. Tas-tas tersebut tidak berisi apapun melainkan beberapa buku, pulpen, dan peralatan sekolah lainnya.
Semua kelas sudah dirazia, hanya tersisa satu kelas saja. Padanya terdapat seorang siswi yang menceritakan kisah ini. Apa gerangan yang terjadi?!
Seperti biasa, dengan penuh percaya diri tim pemeriksa masuk ke dalam kelas. Mereka lantas meminta izin untuk memeriksa tas sekolah para siswi di sana. Pemeriksaan pun dimulai.
Di salah satu sudut kelas ada seorang siswi yang di kenal sangat tertutup dan pemalu. Ia juga dikenal sebagai seorang siswi yang berakhlak baik dan santun. Ia jarang berbaur dengan siswi-siswi lainnya dan memilih menyendiri. Padahal ia sangat pintar dan menonjol dalam belajar.
Ia memandang tim pemeriksa dengan pandangan penuh ketakutan, sementara tangannya berada di dalam tas miliknya! Semakin dekat gilirannya untuk diperiksa, semakin tampak rasa takut pada raut wajahnya.
Apakah sebenarnya yang disembunyikan siswi tersebut dalam tasnya?!
Tidak lama kemudian gilirannya tiba untuk diperiksa....
Dia memegangi tasnya dengan kuat, seolah mengatakan demi Allah kalian tidak boleh membukanya!
“Buka tasmu, wahai putriku.”
Siswi tersebut memandangi pemeriksa dengan pandangan sedih. Tasnya tetap dalam pelukan.
“Berikan tasmu….”
Ia menoleh dan menjerit, “Tidak! Tidak!”
Perdebatan pun berlangsung tajam.
“Berikanlah tasmu....”
“Tidak!”
Apa yang membuat siswi tersebut menolak untuk diperiksa tasnya? Apa yang ia takutkan?
Keributan terjadi dan tangan mereka saling berebut. Sementara tas tersebut masih dipegangnya erat. Para guru belum berhasil merampas tas dari tangan siswi tersebut karena ia memeluknya secara mati-matian.
Siswi itu lalu menangis sejadi-jadinya. Siswi-siswi lain terkejut. Para guru yang mengenalnya sebagai seorang siswi yang pintar dan disiplin pun terkejut dengan kejadian tersebut.
Lalu hening....
Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi dan apa gerangan yang ada di dalam tas siswi tersebut. Apakah mungkin siswi tersebut melakukan suatu cela yang berat?
Setelah diskusi, tim pemeriksa sepakat untuk membawa siswi tersebut ke kantor sekolah, dengan penuh pengawasan agar siswi itu tidak dapat membuang sesuatu dari dalam tasnya, sehingga ia terbebas begitu saja.
Air mata sang siswi mengalir deras layaknya hujan....
Ia memperhatikan orang-orang sekitarnya dengan penuh kebencian. Ia menyangka mereka akan mempermalukannya di depan umum.
Menanggapi hal itu dan mengingat perilaku sang siswi yang baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran, kepala sekolah memerintahkan agar hadirin membubarkan diri, sehingga yang tersisa hanya para tim pemeriksa saja.
Kepala sekolah berusaha menenangkan siswi malang tersebut, lalu bertanya dengan halus, “Apa yang engkau sembunyikan wahai putriku?”
Melihat simpati kepala sekolah, siswi itu pun membuka tasnya….
Ya Allah, apa sebenarnya benda tersebut?
Di dalam tas tersebut tidak ada benda-benda terlarang, haram, telepon genggam atau foto. Tidak ada dalam tas itu melainkan sisa-sisa roti. Ya, hanya remah-remah roti.
Setelah merasa tenang, siswi itu bercerita, “Sisa-sisa roti ini adalah dari para siswi yang jatuh atau dibuang di tanah, lalu aku kumpulkan untuk kemudian aku sarapan dengan sebagiannya dan membawa sisanya kepada keluargaku. Ibu dan saudari-saudariku di rumah tidak memiliki sesuatu untuk mereka santap di siang dan malam hari bila aku tidak membawakan untuk mereka sisa-sisa roti ini.
“Kami adalah keluarga fakir yang tidak memiliki apa-apa. Kami tidak punya kerabat dan tidak ada yang peduli pada kami.
“Inilah yang membuat aku menolak untuk membuka tas, agar aku tidak dipermalukan di hadapan teman-temanku di kelas. Kemungkinan mereka akan terus mencelaku di sekolah, sehingga aku tidak dapat lagi meneruskan pendidikanku karena malu. Untuk itu, saya mohon maaf sekali kepada Anda semua atas perilaku saya yang tidak sopan.”
Seketika semua yang hadir menangis di hadapan siswi yang mulia tersebut.
Sumber: kisahislam.net (dari Majalah Islam Internasional Qiblati, dan dengan mengutip Grup WA An-Nashihah)
Posting Komentar Blogger Facebook