Dua raksasa puisi, Sapardi dan Joko
Pinurbo, bertemu. Pertemuan yang melahirkan pencerahan bagi
penyuka puisi, seperti saya. Terima kasih kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam pekerjaan mentranskrip percakapan mereka.
Transkrip ini sumbernya dari:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
S: iya sendiri. Cuma nggak selalu ta’ jawab. Nggak apa-apa. Kalau dijawab berarti itu dari saya. Saya pernah itu, apa namanya,
S: Saya tadi mau bilang, Joko Pinurbo aja membeli tidak buku saya. Tapi sampai sekarang saya tidak kaya. Satu orang baca tiga buku kalau ada ratusan orang baca tiga buku, tapi ternyata cuma dia itu yang baca buku saya.
(penonton tertawa)
N: Semua orang di ruangan ini sepertinya punya buku Sapardi
S: Tadi apa pertanyaannya? Tadi saya katakan, pertama kali saya baca puisi dengan baik itu puisi Rendra. Seperti yang sudah saya katakan, ada masa yang kami sebut itu sebagai puisi gelap. Karena puisi setelah Chairil Anwar itu. apa sebabnya? Karena yang nulis itu orang sunda, orang batak, orang Jawa nggak bisa berbahasa indonesia. Bahasa Indonesianya belepotan.
Ketika Rendra nulis, "ohh itu puisi". Waktu SMA saya beli buku Rendra judulnya Balada Orang-orang yang Tercinta, di samping itu saya membaca sebuah sajak drama bersajak karangan T.S Elliot kalau diterjemahkan jadi pembunuhan di Katedral. Sampai sekarang begitu saya baca lagi,"Sapardi itu nyuri dari T.S Elliot." Saya lihat itu sungguh luar biasa. Dia nulis beberapa buku yang luar biasa bagi saya itu yang membuat saya menganggap puisi itu tidak bisa saya tangkap sepenuhnya tapi bikin saya terus baca. Ini apa? Kira-kira saya bisa ndak nulis seperti itu sampai sekarang. Saya yakin bahwa ada seorang teman kalau ingin jadi penyair jadilah seorang modernis. T.S Elliot itu mbahnya modernis Eropa waktu itu. dia menemukan cara-cara pengungkapan yang luar biasa. Skripsi saya yang pertama mengenai itu.
Ada penyair yang masyur karena hujan,
---
revisi:
* Tadinya tertulis Salimto Yuliman, tapi ternyata yang benar adalah Sanento Yuliman. (info dari Ahadi Bintang M Said)
* bahasa Jawa yang diucap Jokpin yang Artinya menyimpang dari jalan yang lazim adalah ngiwa. Tadinya saya tidak menuliskannya. (info dari Kurniadi Widodo)
*sebelumnya saya menulis Dihartoko, tapi ternyata yang benar adalah Dick Hartoko (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya tak lengkap menuliskan judul puisi Rendra, ternyata judulnya adalah Balada Orang-orang yang Tercinta (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya menulis Satre, tapi yang benar adalah Sartre (info dari Deasy Elsara)
* sebelumnya saya menulis Jehan, tapi nama yang benar adalah Jeihan (info dari Tampan Destyawan)
Transkrip ini sumbernya dari:
http://www.terlalurisky.com/2016/05/transkrip-percakapan-rare-conversation.html?m=1
O ya, saya kurang setuju dengan beberapa pernyataan mereka, seperti kritik Joko Pinorba terhadap istilah “kiri”. Namun bagaimana pun juga, percakapan mereka bermanfaat untuk penggemar sastra.
O ya, saya kurang setuju dengan beberapa pernyataan mereka, seperti kritik Joko Pinorba terhadap istilah “kiri”. Namun bagaimana pun juga, percakapan mereka bermanfaat untuk penggemar sastra.
Selamat membaca….
*****
COPAS (dengan suntingan yang dianggap perlu):
Sesi percakapan dimulai sekitar pukul 19.30 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Saat itu adalah Jumat (6/05) Okky Madasari mengawali, ia bercerita kalau sesi Rare Conversation ini adalah yang paling laris dipesan. Sudah sejak dua minggu sebelumnya, tiket habis terpesan. Banyak yang tidak kebagian. Itulah alasan yang menguatkan saya untuk menulis transkrip ini. Ingin teman-teman bisa ikut merasakan keseruannya juga.
*****
COPAS (dengan suntingan yang dianggap perlu):
Sesi percakapan dimulai sekitar pukul 19.30 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Saat itu adalah Jumat (6/05) Okky Madasari mengawali, ia bercerita kalau sesi Rare Conversation ini adalah yang paling laris dipesan. Sudah sejak dua minggu sebelumnya, tiket habis terpesan. Banyak yang tidak kebagian. Itulah alasan yang menguatkan saya untuk menulis transkrip ini. Ingin teman-teman bisa ikut merasakan keseruannya juga.
Total percakapan yang terekam ialah
sepanjang 1 jam 20 menit. Transkrip saya ketik bersama Chrismastuti yang
bersamanya saya menyaksikan sesi ini. Rencananya, pengetikan kami bagi rata.
Tapi Chris kelewat rajin, ia menggarap 60%nya. Di halaman Words, transkrip ini
sepanjang 19 halaman. Sekitar 7.500
kata. Butuh kira-kira 30 menit untuk membaca tuntas.
Sebenarnya di awal, Najwa Shihab,
sang moderator, membuka sesi dengan puisi yang bagus, tapi saya belum merekamnya.
Begitu juga dengan pertanyaan pertama Najwa dan jawaban pertama Sapardi, saya
hanya menuliskan berdasarkan catatan saja.
O ya, kalau ada kalimat yang
janggal, atau data yang salah, kabari yah. Biar saya langsung koreksi. Semoga
menghibur, dan bermanfaat.
[Komentar: Demikian kata
pentranskrip, tapi saya membuang beberapa bagian yang tidak penting untuk mengurangi panjangnya tulisan.]
Najwa Sihab (N): Apa yang belum
banyak publik tahu tentang Pak Sapardi?
Sapardi Djoko Damono (S): Saya ini
hampir setiap hari ke mal. Saya ini anak mal sebenarnya. Eh, eyang mal. Dokter
bilang kalau saya harus banyak jalan kaki. Kalau jalan kaki di luar kan panas. Enak
di mal. Paling sering ke Pondok Indah Mal, paling dekat dengan rumah.
(penonton tertawa)
N: Kalau mas Jokpin?
Joko Pinurbo (J): Saya ini suka
kopi. Di nama saya pun ada “kopi”-nya. Joko Pinurbo. Kopinya pakai gula
sedikit saja.
N: Mas Jokpin. Gambarkan dong.
Deskripsikan kepada kami, sosok yang ada
di samping Anda.
J: Pak Sapardi yah. Sosoknya ada di
sebelah kiri. Kiri ini sangat sensitif sekali. Padahal saya pernah
berbincang-bincang dengan almarhum Romo Yudi Mangun Wijaya, tentang kata
“kiri”. Perlu saya jelaskan. Beliau kan merintis pendidikan eksperimental
dengan untuk anak-anak SD. Salah satu yang beliau tekankan dengan para guru
yang mengajar anak-anak miskin itu harus diajari untuk berpikir. Ngiwa, itu
bahasa Jawa. Artinya menyimpang dari jalan yang lazim. Kalau diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia secara bebas artinya belok kiri. Tapi kan kata kiri ini
jadi sangat sensitif. Padahal kalau kita di kanan terus sumpek kan, yah. Sekali-kali perlu menengok ke kiri supaya
kita lebih kreatif.
N: Karenanya Pak Sapardi ada di sebelah kiri?
... Jadi sambil mendeskripsikannya pun sudah bawa contekan
... Jadi sambil mendeskripsikannya pun sudah bawa contekan
(Najwa melihat Jokpin yang merogoh
tasnya. Mengambil buku)
J: Saya mumpung ketemu pak Sapardi.
Saya pertama kali mengenal puisi Indonesia itu puisinya Sapardi. Dan buku puisi
pertama yang saya beli adalah buku puisi DukaMu
Abadi. Saya pengin menunjukkan buku puisi pak Sapardi versi perdana yang
tidak banyak dikenal orang. Ini versi masih seperti stensilan. DukaMu Abadi.
S: Itu dapetnya dari mana?
J: Nah ini mau saya ceritakan. Dan
buku ini tak akan saya berikan kepada siapapaun termasuk kalau Pak Sapardinya
sendiri yang minta.
(penonton tertawa)
J: Sangat berharga. Suatu saat saya
membantu almarhum Dick Hartoko, majalah Basis, di mana pak Sapardi pernah lama
jadi redakturnya. Lalu suatu saat, di rak, (saya) melihat ada buku versi stensilan ini.
N: Yang bikin tertarik itu? Karena
ini buku stensilan
J: Iya. Karena saya belum punya
versi perdananya. Jadi untuk semua yang hadir di sini, jangan melupakan karya
perdana seorang penyair. Itu penting
N: Umur berapa saat itu mas Jokpin?
J: Umur 20-an. Jadi buku ini saya
lihat di rak, lalu saya curi. Bukan saya curi. Saya ambil. Lalu saya koleksi
sampai sekarang. Karena ini buku puisi yang mengantar saya sekarang duduk
bersama pak Sapardi.
N: Bersejarah yah?
J: Bersejarah…
N: Oh udah toh mas? Oh itu titik
yah. Kalau penyair titiknya kadang suka nggak jelas.
(penonton tertawa)
N: Oke jadi saya ingat pernah membaca cerpen mas Jokpin. Waktu itu
ada cerpen di hari ulang tahun pak
Sapardi yang ke-75. Sebotol Hujan untuk
Sapardi. (klik
ini untuk baca cerpennya) Sekarang saya ingin tanyanya ke Pak Sapardi.
Ketika membaca cerpen itu apa yang bapak rasakan?
S: Saya belum pernah, atau tidak
suka, merasa terharu membaca sastra.
Tetapi ketika membaca ini saya tuh tergeli. Sampai hati menulis seperti itu
untuk saya. Itu indah sekali. Bagi saya itu tulus. Tidak neko-neko. Mengucapkan
selamat ulang tahun seperti itu luar biasa, bagi saya…
(penonton tertawa karena mengira
ucapan Pak Sapardi masih berlanjut)
N: Pak Sapardi dideskripsikan
seperti itu. Kalau bapak gimana menggambarkan sosok yang di sebelah kanan bapak
ini, baik karya maupun persona, pak?
S: Joko Pinurbo itu kemenakan saya.
Kemenakan saya banyak. Saya Djoko Damono. Dia Joko Pinurbo. Ada lagi kemenakan
saya di Serbia. Namanya Jokovic. Kami sekeluarga sebenernya. Joko Joko Joko.
Makanya nanti kalau punya anak namakan Joko.
(Penonton tertawa)
N. Ya udah kalau gitu malam ini saya juga jadi Joko boleh ya,
Pak? NaJoko Shihab. Hehe.
Kalau karyanya, bapak melihatnya
gimana?
S: Dia menulis lebih baik dari itu, coba lihat. (Pak Sapardi
mengambil buku Duka-Mu Abadi milik
Jokpin) Ini bukunya dicetak tahun ‘69, oleh seorang temen namanya Jeihan. Kami
tuh sejak SMA keluyuran sama-sama, sama-sama dhuafa pada waktu itu. Sampai
sekarang juga sebenernya.
Kami suka belajar sama-sama di
tempat yang sepi, yaitu kuburan Belanda. Di Solo tuh ada kuburan Belanda. Kami
suka ke sana. Kami berangan-angan. Aku mau jadi penyair. Yang satunya, “aku mau
jadi pelukis”.
Kami berjanji, nanti siapa yang
duluan kaya akan membantu yang lain. Saya senang. Nggak mungkin penyair kaya,
kan. Kalau misalnya pelukisnya kaya, jelas. Dan ternyata benar, ketika dia
sudah agak-agak kaya. “ini saya punya buku, kamu terbitin deh.” Diterbitin
beneran. Tahun berapa itu.. Oh, ‘69.
Nah, pada waktu itu saya sudah janji.
Saya mau hanya berbicara di Taman Ismail Marzuki kalau saya punya buku. Tapi
buku saya belum terbit. Ketika saya naik panggung, di depan saya itu
singa-singa semua, yang pinter-pinter. Saya deg-degan. Saya kan anak kampung.
Anak Solo. Buku saya kok nggak ada.
Tiba-tiba muncul seseorang namanya Sanento Yuliman, almarhum, seorang kritikus seni, dia membawa bundel buku,
katanya ini dari Jeihan. Untuk mas
Sapardi dikasihkan.
Ketika itu saya kaget. Oh ternyata
saya ditolong sama Jeihan, bener. Saya sekarang ceramah, dan buku saya dicetak
sama dia. Ini betul-betul buku yang berharga bagi saya, dan bagi pak, eh mas
Joko Pinurbo. Itu ceritanya seperti itu.
N: Itu buku pertama, sampai sekarang
total ada berapa buku? Apakah sudah tidak bisa terhitung?
S: Belasan lah. Tapi saya kira yang
paling baik itu.
N: Pak Sapardi, yang paling banyak
diingat orang, dijadikan lagu, dijadikan kalimat di undangan pernikahan,
dijadikan kado atau cara merayu orang, itu ada dua puisi. Aku Ingin dan Hujan di Bulan
Juni. Saya ingin tahu, proses ketika menciptakan itu. Sekali jadi, atau
diulang-ulang?
S: Cara merayu orang itu loh.
(Penonton tertawa)
N: Soalnya saya pernah dirayu dengan
kalimat itu, Pak Sapardi. Dan berhasil. Agak menyesal sekarang.
S: Halah. Jangan percaya mulut
Sapardi.
(penonton tertawa)
S: Jadi begini, memang dua sajak
itu, antara lain, yang istimewa itu sekali jadi. Nggak tau kenapa. Kemudian,
pada waktu itu dimuat pada sebuah koran, Suara Pembaruan atau apa gitu, tahun
‘69. Saya temukan di Yogya, kebetulan waktu itu ujan-ujan. Di situ ada tiga
sajak, Hujan bulan Juni, sama itu (Aku Ingin).
Andaikan sajak itu tidak dijadikan
lagu, tidak dinyanyikan Reda, orang tidak akan mengenal. Siapa yang akan
membaca puisi kecil si sebuah sudut Koran. Koran sore. Siapa yang baca? Tapi
sekarang karena lagu itu, anda sekalian mengenal saya. Jadi, bukan karena anda
mengenal puisi saya dulu. Tapi lagu itu dulu. Dan kebetulan, mereka itu adalah
bekas-bekas mahasiswa saya. Bukan bekas, tapi mahasiswa. Mereka mencuri sajak
saya, saya nggak dikasih uang apa-apa.
(Penonton tertawa)
N:
“Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan
kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
Seperti apa mencintai dengan
sederhana, mas Jokpin? Saya nanya ke mas Jokpin sekarang. Mencinta dengan
sederhana itu seperti apa?
J: Itu puisi yang paling tidak
sederhana. Jadi mencintai dengan sederhana itu mencintai yang paling tidak
sederhana. Paling sulit. Sesuatu yang mustahil itu yang ditulis Pak Sapardi.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, justru itu yang tidak sederhana. Susah
orang mencintai apa adanya.
N: Mas Jokpin kalau mencintai orang
seperti apa?
J: Ya itu, seperti kayu kepada api
yang menjadikannya tiada.
(Penonton tertawa)
N: Kalau begitu saya tanya ke
penciptanya. Mencintaimu dengan sederhana, adakah maksud lain ketika menuliskan
itu, Pak Sapardi? Ada banyak sekali interpretasi orang terhadap kalimat
terkenal itu.
S: Ya tentu. Memang puisi itu
hidup kalau interpretasinya macem-macem. Kalau cuma satu ya sekali baca
sudah habis. Jadi orang mikir-mikir: sederhana, ada api, ada kayu. Kayu,
dibakar api, toh. Ini kan percintaan bagi saya. Kayu dan api itu bercinta.
Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah jadi abu. Jadi nggak sampai.
N: Jadi ini tentang cinta tak
sampai?
(Penonton tertawa)
S: Lho, bukan. Cinta beneran itu,
cinta beneran.
(penonton tertawa)
N: Jadi ketika itu sekali jadi,
berapa lama prosesnya?
S: Satu hari? Ya berapa menit. 15
sampai 20 menit barangkali. Waktu itu ditulis tangan.
(penonton tepuk tangan)
N: Hujan di Bulan Juni juga seperti itu, secepat itu?
S: Sama.
N: 15 menit saja?
N: Saya mau ke mas Jokpin. Yang
menarik dari anda, mas Jokpin, peristiwa sehari-hari itu bisa jadi puisi.
Benda-benda sehari-hari: celana, telepon genggam, tiang jemuran, kamar mandi,
kuburan, sarung. Dari mana sih celana itu datang ke otak mas Jokpin? Puisi,
kok, celana, mas?
(Sapardi terlihat tertawa)
(penonton tertawa)
J: Ya saya juga membayangkan
bagaimana Ari Reda bisa menyanyikan Di Bawah Kibaran Sarung, misalnya. Itu
sebetulnya, aduh itu ceritanya panjang. Kalau orang ingat, kan, saya baru
menerbitkan buku puisi celana itu tahun 1999. Usia saya saat itu 37 tahun.
Sudah sangat terlambat karena apa, karena saya sangat lama untuk mencari celana
saya yang hilang.
Kepenyairan saya tumbuh ketika saya
harus berhadapan dengan penyair-penyair besar yang sudah mapan saat itu. Ada
Sapardi, ada Goenawan Mohamad, ada Sutardji, ada Rendra, Subagio Sastrowardoyo,
saya berhadapan dengan karya-karya yang begitu dahsyat, apa yang saya harus
lakukan. Maka yang saya lakukan saya harus belok kiri. Kalau saya jalan lurus
mengikuti jalan mereka saya tidak bisa sampai ke Taman Ismail Marzuki.
Nah, ternyata setelah saya belok
kiri saya menemukan banyak hal. Itu kejadian saya simpel. Saya meneliti, membaca puisi dari Amir Hamzah sampai Sapardi sampai Rendra, kira-kira yang belum mereka kerjakan apa. Oh, ternyata nggak ada celana, tidak ada kamar mandi, tidak ada sarung. Nah, ini modal saya. Jimat saya. Kira-kira begitu. Jadi saya hanya meneliti kira-kira yang belum pernah dikerjakan penyair lainnya apa. Ya udah saya kerjakan, yang dibilang sehari-hari itu tadi.
N:
“Sajak Memo Celana
Kadang, tengah malam, sambil mengigau kau
ngeloyor
ke halaman belakang, ingin mencoba bagaimana rasanya
tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan.“
ke halaman belakang, ingin mencoba bagaimana rasanya
tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan.“
Joko
Pinurbo. Sajak Memo Celana. Dan
setelah itu ada banyak celana-celana yang lain, mas Jokpin.
J: ya
ada periode celana, kamar mandi, kemudian juga ada periode tahi lalat. Pokoknya
yang tampaknya nggak berharga gitu lah.
N:
Sekarang periode apa?
J:
Sekarang, periode bahasa Indonesia. Saya sekarang sedang mengerjakan
puisi-puisi yang menunjukkan keunikan bahasa Indonesia. Saya bermain-main
dengan kata-kata bahasa Indonesia. Oh, ternyata bahasa Indonesia itu luar
biasa. Jadi, saya ingin menunjukkan kalau bahasa Indonesia menyimpan potensi
yang menarik untuk digali oleh para penyair.
N:
Bisa dibocorkan sedikit?
J: Ya
nanti saya bacakan. Salah satu saya bacakan.
N:
Kita tunggu nanti
J:
Kalau saya tidak lupa yah.
N:
Tugas saya malam ini mengingatkan.
(penonton
tertawa)
N:
pak Sapardi saya pernah membaca, jangan pernah menulis saat keadaan emosi tidak
stabil. Saya agak kaget, Karena saya pikir kalau kita lagi patah hati, lagi
jatuh cinta, lagi marah luar biasa, bukannya tulisannya justru mengalir deras,
ya, pak? Atau itu salah?
S:
Wah itu salah sama sekali. Kalau kita marah, ada yang tidak beres di dalam
masyarakat, atau korupsi, atau segala macem, kalau kita marah ya jangan nulis
puisi. Banting gelas aja. Kalau udah lego, baru nulis puisi. Kalau cinta sama
orang juga gitu, nggak usah buru-buru. Kalau udah selesai, kita tenang, kita
punya jarak dengan apa yang ingin kita tulis, kita menulis.
N:
Jadi justru harus berjarak?
S: Oh
iya. Namanya jarak estetika. Harus. Kalau nggak cengeng. Lebih baik demo, kalau
marah, daripada nulis puisi.
(penonton
tertawa)
N:
jadi pak Sapardi paling sering menulis dalam keadaan apa?
S: Ya
dalam keadaan kalau sudah tidak ada rasa yang menggebu-gebu. Saya
setenang-tenangnya dalam perasaan saya itu, dan kemudian bisa melihat apa yang
saya tulis itu dengan cara yang estetis, dengan jarak yang terjangkau dengan
saya. Dan saya mencoba untuk menyampaikan itu secara sangat objektif, itulah
sebabnya sajak saya itu gampang sekali dipahami. Karena itu saya cuma gambar
kok itu. Ada hujan bulan Juni, itu kan cuma gambar. Kemudian Aku Ingin, itu kan ada gambar, apa
namanya, api melalap kayu. Perkara itu ditafsirkan gimana, ya itu salahnya yang
menafsirkan. Saya barusan menerima undangan kawin yang ada sajak saya itu, yang
Aku Ingin, yang pernah dianggap sebagai sajaknya Khalil Ghibran. Ada teman di
Yogya cerita begitu, ketika mengingatkan begitu, “Ini sajaknya mas Sapardi,
bukan sajaknya Khalil Gibran”. Apa jawabnya, “wong Indonesia kok bisa bikin
sajak seperti itu?!”
N: Underestimate banget. Jadi bahkan sajak
Aku Ingin disangka tulisan Khalil ghibran.
S:
Iya dan ada sebuah buku yang mencantumkan itu sebagai karya Khalil Gibran.
N:
Tapi membuat geer nggak, prof?
S:
Nggak. Bagi saya itu lucu aja. Lucu banget itu.
N:
Jadi menulis harus berjarak. Jangan dalam keadaan emosi berlebihan. Berarti
inspirasi tidak perlu dicari?
S:
Inspirasi kok dicari, kita tuh punya niat nulis. Kebetulan ada kesempatan. Nah,
apa yang menjadi bahan kita adalah pengalaman kita sehari-hari, apa yang terjadi
di kehidupan kita. Seperti yang tadi Jokpin bilang, ada celana, ada sarung, ada
kamar mandi. Tapi saya lebih tertarik pada yang ada di dalam celananya itu.
Bukan celananya, tapi yang di dalamnya.
Ada kan sajaknya yang begitu? Ada. Porno, dia porno memang.
N:
Setuju, mas Jokpin? Anda porno, mas?
(penonton
tertawa)
J:
Hmm. Iya. Saya ingat puisi itu tapi tidak ingin membacakan puisi itu. Karena
nanti pembaca lebih memperhatikan yang di dalam celana itu.
N:
Mas Jokpin, menulis biasanya kapan?
J:
Hmm. Pada dasarnya saya sembarang waktu. Tapi seringnya tengah malam ke atas,
sampai kira-kira jam tiga, itu waktu saya untuk menulis.
N: Di
kertas dengan pena, mengetik dengan komputer?
J:
Kalau dulu ya tulis tangan, sekarang ya dengan komputer. Tulisan tangan saya
semakin jelek sekarang. Karena tangan saya jarang digunakan.
N:
Berapa lama biasanya kalau tadi 15 menit sajak pak Sapardi yang legendaris itu
tercipta, kalau mas Jokpin berapa lama?
J:
Biasanya sajak-sajak saya yang saya suka, yang berhasil itu justru sajak yang
saya tulis cepat. Sajak yang terlalu saya persiapkan itu jadinya malah nggak
keruan gitu, lho. Malah saya anggap kurang kuat. Jadi pengalaman saya
sajak-sajak yang suka yang saya anggap berhasil adalah sajak yang saya tulis
dalam waktu cepat. Saya ini kan musiman, dalam satu bulan bisa menulis 12
puisi, lalu enam bulan saya tidak bisa menulis apa-apa. Begitu, jadi saya tidak
punya rutinitas menulis puisi, jadi misalnya satu bulan menghasilkan rata-rata
berapa, tidak. Saya menulis satu bulan enam, setelah itu sudah, bisa satu tahun
tidak menulis.
N:
Susah tidak memanggil musim menulis puisi itu?
J:
Kalau saya musimnya tidak jelas, tidak pernah menentukan. Saya tidak punya
bulan favorit kapan menulis.
N:
Bulan Juni seperti pak Sapardi?
J:
Saya jarang sekali menulis puisi pada bulan juni. Kan sudah ada Hujan Bulan Juni. Tapi kalau
diperhatikan, saya baru sadar belakangan, ternyata pada bulan-bulan yang banyak
‘er’-nya itu. September, Oktober, November, Desember itu saya banyak menulis
puisi. Saya nggak tahu kenapa.
N:
Tadi mas Jokpin mengatakan ‘puisi yang dianggap berhasil’. Boleh tidak saya
minta mas Jokpin membacakan puisi yang berhasil di mata Jokpin.
Waduh,
banyak sekali. Mana yang saya pilih yah.
N:
Sangat rendah hati memang mas Jokpin.
(penonton
tertawa)
J: Ya
apa yah, sekali-kali penyair membanggakan dirinya lah. Karena kan tidak ada
yang dibanggakan. Rezekinya tidak jelas.
N:
Apa ini judulnya, mas Penyair
J:
Puisi ini pernah berkali-kali saya bacakan. Tetapi akan saya bacakan lagi,
karena puisi tentang bahasa Indonesia tadi. Main-main saya dengan bahasa
Indonesia. Boleh saya bacakan?
N:
Silakan mas. Kita kasih tepuk tangan dulu dong
J:
Judulnya Kamus Kecil
Saya dibesarkan oleh bahasa
Indonesia yang pintar
Dan lucu walau kadang rumit dan membingungkan.
Yang mengajari saya cara mengarang ilmu
sehingga saya tahu sumber segala-gala kisah adalah kasih.
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi
gigih.
Bahwa seorang bintang harus
tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang
kepada tuhan
Hantunya
itu banyak di kiri atau di kanan nggak jelas.
(Penonton
tertawa)
Bahwa pemurung tidak pernah
merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu.
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan
kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundah
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan
bau tubuhnya.
Malam merangkai kita menjadi
kalimat majemuk yang hangat
Di mana kau induk kalimat, dan aku anak
kalimat.
Ketika induk kalimat bilang pulang,
Anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke
dalam palung
ruang penuh raung, segala kenung tertidur di
dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah menjadi
kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal dan berharap tak ada yang bakal
tanggal .
Demikian bahasa Indonesia.
(Penonton
tepuk tangan)
N:
Pak Sapardi apa komentar bapak atas puisi tadi, pak?
S:
Saya sedang mikir-mikir nih. Jokpin ini kok mendahului saya. loh. Bukan ,
artinya, tanpa mengatakan pun, sesungguhnya sajak tadi menjelaskan bahwa puisi
itu bunyi. Bahasa itu bunyi. Itu kan permainan bunyi. Ini itu, ini itu. Dan
menurut saya itu memang—yang saya sudah siapkan dari rumah untuk menjelaskan
ini—puisi itu bunyi sebenernya. Kalau dalam khasanah bahasa jawa pusi itu
ditulis dalam bentuk tembang puisi itu harus dinyanyikan. Dalam diri puisi itu
sendiri itu ada bunyi. Jadi puisi yang belum jalan bentuk bunyinya, itu tidak akan disukai
orang. Itu masalahnya.
Tadi
dijelaskan, sebenernya Jokpin berteori bahwa puisi itu adalah permainan bunyi.
Titik. Perkara maksudnya apa terserah pada kita semua. Mungkin Jokpin tidak
memaksudkan sesuatu. Begini, begitu, tapi karena bunyinya indah, puisi
menghasilkan sesuatu yang mungkin di luar pemikiran si penyairnya sendiri. Itu
saya kira.
N:
Bunyinya yang indah?
S:
Ya.
(penonton
tepuk tangan )
N:
Penilaian itu tepat, mas Jokpin?
J: Ya
tentu saja jauh lebih tepat dibanding yang saya bayangkan. Jadi ya memang
sebetulkan saya ingin memberi pengertian, atau persepsi bahwa puisi seperti
itu. Saya bermain-main dengan kata. Saya sendiri tidak paham kok maksud puisi
ini apa. Saya tidak paham.
Saya
juga sering menafsirkan puisi saya sendiri. Jadi ketika saya menulis puisi Celana 18 tahun lalu, sekarang saya
membacanya lagi, posisi saya sebagai pembaca. Saya menafsir lagi puisi saya.
“Wah kok bisa gila kayak gitu yah” saya
kadang-kadang begitu.
N:
Dan berbeda 18 tahun lalu ketika dituliskan, dengan sekarang ketika dibaca
ulang?
J:
Bisa berbeda maknanya. Bisa berbeda atau
bisa menjadi berkembang maknanya. Itu yang besok ingin saya sampaikan dalam
acara Ibadah Puisi. Bagaimana cara saya menafsirkan puisi saya sendiri. Sama
seperti saya menafsirkan puisinya pak Sapardi. Misalnya begini, buku puisi DukaMu Abadi ini sangat berkesan bagi
saya karena ini saya baca sejak remaja puisi-puisi ini kan ditulis tahun 67-68.
Ini saya mau member tafisr sedikit. Pak Sapardi nggak usah campur tangan yah.
(penonton
tertawa)
N:
Silakan mas.
J:
Nah, ini buku puisi yang sangat liris
tetapi saya punya penghayatan sendiri. Puisi-puisi ini lahir persis setelah
tragedi 65. Kalau kita membaca puisi-puisi ini sama sekai tidak ada petunjuk
peristiwa politik yang terjadi. Tetapi saya bisa merasakan bahwa suasan yang
dilukiskan dalam DukaMu Abadi itu suasana setelah terjadi tragedi yang sangat
besar. Tragedi berdarah. Ada bau kematian. Ada suasana sunyi yang ngelangut
stelah terjadi pergolakan yang laur biasa. Baris pertama puisi DukaMu Abadi aja begini: “Masih terdengar sampai di sini, dukaMu
abadi”
Nah
yang belum pernah diungkap orang bahwa di dalam puisi itu ada disebut-sebut
kata Golgota, misalnya. Jadi saya mempunyai tafsir bahwa tampaknya puisi ini
ingin menunjukkan bagaimana tragedi penyalipan Yesus itu terjadi secara masal
pada tahun 65. Ini sangat terlukis di dalam puisi-puisi ini menurut penghayatan
saya.
Saya
pernah membuat tafsir terhadap serangkaian puisi pak Sapardi lewat cerita
pendek saya, Laki-laki Tanpa Celana,
di sana saya menunjukkan melalui teks-teks pak Sapardi memang ada tragedi ada
trauma yang baunya bisa saya cium dari puisi-puisi beliau. Jadi memang
puisi-puisi ini ditulis pada suasana yang sangat kontemplatif ketika sesesorang
sudah mengambil jarak dari tragedi itu. Lalu tragedi sosial yang terjadi
sejarah itu akhirnya menjadi trauma psikologis yang sifatnya individual. Jadi
kalau say abaca ulang bau kengerian itu masih ada. Makanya puisi ini jadi
sangat menarik, karena tidak ditulis dengan nada yang berkobar-kobar. Tetapi
malah justru jadi lebih mencekam. Saya sangat ngeri kalau membaca DukaMu Abadi
N:
Sangat ngeri, mas?
J:
Sangat ngeri.
N:
Bacakan sedikit saja.
J:
Oke saya bacakan.
N: Enak yah bisa nyuruh-nyuruh.
J:
Ini masih ejaan lama, mbak Nana. Wah sangat berkesan. Beruntunglah saya
memiliki. Kapan-kapan mau saya lelang ini.
(penonton
tertawa)
J:
Jadi puisi pertama judulnya Prolog.
Kita membayangkan sehabis terjadi tragedi 65. Mungkin penyairnya tidak
bermaksud begitu tetapi, ini urusan saya sebagai pembaca.
(pak
Sapardi menutup kuping)
J:
“Masih terdengar sampai di sini
DukaMu
abadi
Malam
pun sesaat terhenti
Sewaktu
diri pun terduduk, terdiam
Di
luar langit yang membayang samar
Kueja
setia
Semua
pun yang sempat tiba
Sehabis
mengukuh ladang kain dan bukit golgota
Sehabis
menyekap beribu kata
Di
sini, di rongga-rongga yang mengecil ini
Ku
sapa dukamu juga
Yang
dahulu yang meniupkan jarak ruang dan waktu
Yang capai menyusun huruf dan tepat dan terbaca
Sepi
manusia, jelaga”
Itu puisinya. Dengan nada berkobar-kobar. Malah justru jadi
lebih mencekam. Saya justru jadi sangat ngeri ketika membaca duka mu abadi
N: sangat ngeri mas?
J: Ya.
N: kita tepuk tangan dong. Puisi
Sapardi dibacakan oleh Joko Pinurbo. Saya ingin tanya yang membuat,
intrepretasi itu mendekati dengan apa yang bapak pikirkan ketika menulis?
S: Bukan mendekati, itu melompati.
Itulah yang saya katakan tadi. Sajak itu jauh lebih jauh dari apa yang
diketahui oleh si penyair tentang sajaknya sendiri. Kalau saya boleh
menjelaskan ini, saya akan menjelaskan dengan cara lain.
Tahun 67 dan 68, berarti umur saya
27 atau 28. Menurut teori yang tidak saya percaya, jadi pada umur itulah orang
untuk pertama kalinya sadar bahwa dirinya akan mati. Ini pernah dikatakan oleh
Sartre, dia mengatakan pada tahun-tahun segitu orang mulai sadar, dia akan
mati. Dan mungkin ini yang saya tulis. Ini banyak tentang kematian segala macam
itu. Saya dalam keadaan, ada sajak saya yang betul-betul takut sekali, takut
mati. Tapi hasilnya seperti ini. bukan kemudian, saya membuat sajak yang menyebabkan
anda nangis. Saya mengambil jarak dari ketakutan mati itu. saya menulis sajak
seperti ini. Itulah sebabnya, mungkin ditafsirkan lain.
Dukamu itu “Mu”-nya besar. Bagi saya, Tuhan kok berduka terus
sampai sekarang melihat umat-Nya. Apa nggak pernah jadi beres kita ini.
kemudian ditambah ketakutan akan mati itu tadi. Menurut saya penting sekali,
itulah yang mendasari puisi saya. Beberapa buku saya yang banyak dibicarakan
mungkin yang ini. dan banyak sekali tafsir, dihubungkan sana dihubungkan sini.
Itu saya senang sekali. Puisi memang seperti itu. tafsir Jokpin sangat saya
hargai. Sajak yang pertama tadi. Saya menganggap, ketika ini dikumpulkan saya
merasa ada semacam benang merah antara sajak dengan yang lain. Ada seorang
kritikus, menganggap tiga sajak dijadikan satu. Meskipun saya tulis secara
terpisah.
N: Jadi betul-betul tergantung
intrepretasi siapa yang membacanya?
S: Iya betul.
N: Pak Sapardi tadi Jokpin sudah
membacakan puisi yang menurutnya berhasil. Saya ingin meminta bapak membacakan
puisi yang bapak anggap berhasil, karya bapak.
S: Kalau saya membaca puisi Aku Ingin semua orang hapal. Baca Hujan bulan Juni orang juga hapal. Jadi
bosen. Nanti dinyanyikan lagi. saya mau membacakan sesuatu yang pernah saya
bacakan di sini. Saya tahu saya akan dipaksa untuk membaca sajak. Sebenernya
pekerjaan saya ini kan menulis bukan membaca.
N: bukan dipaksa tapi diminta dengan
hormat dan diiringi tepuk tangan yang meriah.
S: Ini juga untuk menambah
pengetahuan kita semua. Saya bukan penyair cinta. Judulnya Tentang Mahasiswa yang Mati 1996
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut
rame-rame
hari itu. Aku tak mengenalnya,
hanya
dari koran, tidak begitu jelas memang,
kenapanya
atau bagaimananya (Bukankah semuanya
demikian
juga?) tetarpi rasanya cukup alasan
unutk
mencitainya. Ia bukan
mahasiswaku.
Dalam kelas mungkin saja
ia
suka ngantuk, atau selalu tampak sibuk mencatat,
atau
diam saja kalau ditanya,
atau
sudah teralanjur bodoh sebab ikut saja
setiap
ucapan gurunya. Atau malah terlalu suka
membaca
sehingga semua guru jadi asing baginya.
Dan
tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati;
Begitu
berita yang ada di koran pagi ini—
Entah
kenapa aku mencintainya
Karena
itu. Aneh, koran ternyata bisa juga
Membuat
hubungan antara yang hidup
Dan
yang mati, yang tak saling mengenal.
Siapa
namanya, mungkin disebut di koran,
Tapi
aku tak ingat lagi,
Dan
mungkin juga tak perlu peduli. Ia telah
Mati
hari itu—dan ada saja yang jadi ribut.
Di
negeri orang mati, munkin ia sempat
Merasa
waswas akan nasib kita
Yang
telah meributkan mahasiswa mati.
Terima kasih
N: Tentang Mahasiswa yang Mati Tahun 1996. Jadi pas saat itu pak Harto
masih berkuasa. Sempat ada ramai-ramai ketika puisi itu muncul di koran?
S: Puisi ini saya baca di sini, di
TIM. Kemudian wartawan KOMPAS, katanya tidak biasa. Dalam beritanya puisi ini
dikutip utuh. Seingat saya begitu. Kemudian saya kirim ke sebuah majalah di
Jogja, Basis. Kemudian saya ditanya editornya, “apa mas Sapardi berani menulis
puisi seperti ini?” Puisi ini ndak galak toh? Saya kan nggak marah. Nggak ada
tanda pentung. Saya cuma cerita saja saya mencintai mahasiswa yang mati karena
dibedil.
Sajak seperti ini, membutuhkan
seperti yang saya sampaikan tadi, jarak itu. kalau saya menggebu-gebu membaca
koran itu bubrah semua. Nggak jadi. Saya pernah membaca sajak yang satu buku
isinya tanda seru semua. Membacanya gimana? Masa teriak-teriak terus? Nggak
mungkin kan saya teriak.
Tapi memang sajak semacam ini,
karena ada jarak estetis itu tadi itu dikerjakan lama. Tadi saya katakan ada
beberapa sajak saya yang ditulis beberapa menit. Ada sajak saya yang ditulis
tiga tahun nggak jadi-jadi dan sampai sekarang saya belum puas dan harus
diperbaiki lagi.
N: sajak apa itu?
S: Namanya Dongeng Marsinah. Marsinah itu tahun ‘96 saya tulis baru selesai
tahun ‘98. Lama sekali. Saya koreksi terus. Karena itu terlibat emosi saya,
sajak saya nggak karuan. Isinya kemarahan mulu. dalam sajak kok orang marah.
Dalam sajak nggak boleh orang marah, dalam sajak nggak boleh orang bercinta,
dalam sajak nggak boleh macam-macam. Pokoknya dongeng saja. Seperti sajak Joko
Pinurbo, mana aja sajak Joko Pinurbo yang marah? Dia mengajak kita, hidup tuh
santai aja kayak yang dia utarakan. Nah itu saya kira hakikat puisi. Puisi
tidak mengajak kita ke sana kemari, ke kanan atau kiri, ya terserah mau lurus
atau tidak. Apalagi di tempat kita belum kiri boleh lurus.
N: Boleh langsung.
S: Nah kan kita bingung mau kiri
atau langsung. Dalam salah satu lagu dikatakan saya dikatakan lefthanded bukan leftish. Meski di negara saya di Depok sana, lefthanded pun dilarang.
N: Karena itu menarik untuk bicara
yang tengah terjadi di negeri kita saat ini. Bicara soal korupsi, soal Pilkada,
soal pemimpin, penguasa Jakarta, atau yang mau jadi penguasa Jakarta. Hal-hal
itu menarik tidak dijadikan puisi, mas penyair?
J: Ya saya ini biasa menulis hal-hal
yang remeh: celana, kamar mandi, dsb. Jadi kalau tiba-tiba harus bicara soal
pemimpin itu rasanya berat. Saya masih menyimpan rasa penasaran soal pemimpin
ya.
Saya punya pemimpin negara, namanya
Joko, Joko widodo. dari Solo, orangnya kurus. Saya punya pemimpin puisi,
namanya juga Djoko, Djoko Damono dari Solo, kurus juga. dari situ saja sudah
terasa bagaimana semesta mengatur ini. Masih ditambah lagi, saya memiliki diri
saya sendiri, namanya Joko, Joko Pinurbo. Kurus, berasal dari dekat-dekat Solo.
Saya lalu teringat puisi pak Sapardi, yang fana adalah waktu. Saya merasa yang
fana adalah Joko. Najwa abadi.
(penonton tertawa)
J: Kalau tentang Ahok saya ingat puisinya
Wiji thukul. Wiji Thukul kan puisi yang paling dihapal hampir semua aktivis
adalah “hanya ada satu kata, lawan!”. Kalau Ahok, hanya ada satu kata yang
benar-benar menohok, Ahok!
N: Pak Sapardi, situasi negeri
menarik untuk dijadikan karya?
S: selalu menarik. Tapi karena puisi
pendek, dan saya nggak bisa cerewet di situ. Saya nulis novel. Di novel saya,
Trilogi Sukram, Anda akan tahu saya protes keras terhadap segala macem.
Pengarang telah mati itu 1998. Pengarang yang belum mati 1964. Ketiga, itu yang
terjadi ketika pemberontakan di Sumatera Barat, datuk maringih melawan belanda.
Kemarahan saya itu saya tuliskan di sana. Jangan percaya saya pokoknya dibaca
saja. Nanti pulang kan ada Gramedia bisa mampir. Baca bener-bener. Jadi cara
saya marah itu begini, pada buku ketiga itu, saya jadikan Datuk Maringgih itu
pahlawannya. Bagi saya dia pahlawan. Yang sontoloyonya itu, Syamsul Bahri itu
gombal banget, dia kan antek Belanda. Kenapa dia jadi pahlawan? Sedangkan Datuk
Maringgih itu dia keliling dari surau ke surau untuk ngumpulin orang islam
karena tidak ingin bayar pajak. Kenapa dianggap bajingan? Itu kan susah, nggak
bisa dong. Saya jadikan pahlawan di situ. Itu cara saya melawan. Bukan dengan
marah, itu dongeng. Jadi dalam cerita itu, Datuk Maringgih adalah pacarnya Siti
Nurbaya. Sama sekali berbeda. Itu cara saya menafsirkan politik di negeri saya
ini.
N: Kalau yang dialami sekarang,
adakah penafsiran khusus ala Sapardi?
S: Saya sedang nulis dua novel.
Tunggu sampai akhir tahun. anda akan kaget. Saya nggak belok kiri, tidak belok
lurus, tidak belok kanan. Kan bebas toh? Berhenti ya boleh. Saya nggak mau
berhenti. Saya mau belok-belok. Sekarang ini khasanah sastra kita muncul
macem-macam.
Yang perlu diperhatikan, kita bicara
sastra dengan yang dibicarakan Joko tadi. Sastra itu, puisi itu, ya kata-kata
itu. Bukan apa yang dikandung kata-kata itu. Sekarang yang dibicarakan itu apa
yang dikandung kata-kata itu. Caranya nggak berukuran ya nggak apa-apa, tapi
yang dikandung seperti itu. Itu yang bermasalah. Itu bukan sastra bagi saya.
Itu masalah besar. Karena sastra itu cara pengucapan, seni kata, yang memang
berbeda dengan yang lain. Maknanya beda-beda ya nggak apa-apa, cara itu yang
penting.
N: Mas Jokpin, penyair muda kita
hebat-hebat tidak?
J: Woh hebat-hebat. Pada saat saya
seusia mereka, saya belum sehebat mereka. Dan ada cukup banyak. Ada Aan Mansur,
Mario Lawi, Beni Satryo. Itu menurut saya mereka lebih cepat mencapai tingkat
kematangan berpuisi dibandingkan saya dulu. Saya tidak tahu. Emang anak
sekarang cerdas-cerdas dan didukung berbagai fasilitas oleh media, terutama
teknologi digital. Dulu kan mau nerbitkan buku itu susahnya minta ampun. Masuk
koran juga cuma koran tertentu. Sekarang iklimnya sangat mendukung untuk mereka
mengembangan puisi Indonesia lebih besar lagi. Saya yakin masih banyak potensi
yang masih bisa digali. Saya kira itu. saya harus mengakui, banyak penyair muda
yang karyanya menjanjikan.
Persoalannya satu. Para penyair
generasi saya jumlahnya ratusan. Tapi yang bertahan bisa dihitung dengan jari
tangan. Jadi menurut saya ada faktor lain yang menentukan seseorang bisa
bertahan di dunia kepengarangan yakni mentalitas dan etos kerja. Masalahnya
situasi sekarang penuh godaan, karena semua serba mudah, lalu bisa jadi budaya
instan di dalam menulis itu bisa merasuk ke penyair muda sekarang.
N: Waktu bilang penyair sekarang
bagus-bagus, yang membedakan puisi bagus dengan yang tidak bagus, apa?
J: Kalau saya sederhana. Saya
percaya seperti yang disampaikan pak Sapardi tadi. Sastra itu menyangkut cara
seseorang mengungkapkan tanggapan atau penghayatnya terhadap peristiwa atau
persoalan hidup. Dari segi itulah saya melihat sejumlah usaha kreatif untuk
memperkaya puisi Indonesia. Misalnya gini, Mario Lawi, dia banyak mengangkat
narasi-narasi yang selama ini terpendam. Kisah-kisah kitab suci kemudian
diolah. Juga ada penyair lain yang mengolah tema-tema yang belum banyak
disentuh.
N: Lebih berani-berani ngambil
risiko?
J: Saya pikir begitu. Saya rasa
sejak reformasi, Puisi saya lahir setelah reformasi saya tidak membayangkan jaman orde baru,
orang bikin puisi yang isinya candaan puisi seperti yang saya tulis. Saya nggak
yakin kalau orba tidak runtuh saya bisa nulis puisi celana. Itu kan banyak hal-hal
dalam politik yang tidak boleh dituliskan. Banyak puisi saya berisikan candaan
politik hanya saya tuliskan dengan gaya saya. Gaya orang Jogja: halus,
slengean, plesetan gitu. Saya tidak bisa menulis dengan gaya Rendra atau Wiji
Thukul. Saya juga nggak bisa nulis dengan gaya pak Sapardi yang begitu sublim
karena kultur hidup saya berbeda.
N: pak Sapardi melihat karya penyair
muda kita, membesarkan hati anda?
S: Sangat membesarkan. Jadi begini,
sewaktu saya remaja itu saya hanya bisa membaca di koran. Dan tidak semua koran
ada sastranya. Majalah susah sekali, belum tentu kami mendapatkan itu. Dan
sekarang yang muda-muda dengan mudah mendapat puisi tidak hanya dari buku.
Karena sekarang sastra bukan hanya buku. Kalau kita masih mikir sastra adalah
buku adalah keliru. Karena ada benda ajaib, komputer atau apapun yang
menyambungkan kita dengan internet. Itu kita belajar. Anak-anak sekarang yang
muda-muda itu kalau mau baca sajak siapapun tinggal ngetik namanya langsung
keluar. Jaman saya dulu nggak mungkin. Saya dulu belajar dari Rendra. Kenapa
Rendra? Karena Rendra, menurut saya, waktu itu satu-satunya sajak yang bisa
saya baca dengan bahasa yang sederhana. Pada tahun 50-an puisi Indonesia itu
puisi gelap. Susah sekali dipahami. Tapi ketika Rendra nulis ternyata orang
bisa nulis dengan bahasa seperti itu. dengan cara demikian, pertanyaan anda
meleset tapi saya yang memelesetkan. Anak muda punya bahan yang luar biasa
untukbelajar. Orang bisa nulis kalau membaca. Sekarang bahan bacannya melimpah.
Kalau saya baca karya seorang penyair saya bisa tahu anak ini banyak baca atau
nggak.
Membaca berarti terpengaruh. Di
dalam sastra terpengaruh itu harus. Bukan haram. Kita itu harus mencuri dari
tempat lain. Dari penyair yang dulu. Dari syair orang lain.
N: Prof, sekarang masih seperti itu?
S: Jelas. Mencuri ya jangan
meminjam. Kalau pinjam harus dikembalikan. Kalau mencuri jangan sampai ketauan.
N: Ada yang dicuri dari mas jokpin?
S: Wah, dia yang nyuri dari saya
kok.
N: Internet, kemajuan teknologi
memungkinkan orang untuk belajar dari berbagai sumber. Apa karena itu prof
Sapardi Twitteran? Itu twitter sendiri?
S: iya sendiri. Cuma nggak selalu ta’ jawab. Nggak apa-apa. Kalau dijawab berarti itu dari saya. Saya pernah itu, apa namanya,
N: akunnya?
S: SapardiDD. Itu langsung.
Sebelumnya saya ikut Facebook. Banyak sekali. Tapi habis itu saya tinggal.
Orang banyak kirim karya ke saya terus saya koreksi. Saya ini nggak digaji kok
disuruh koreksi. Dan kalau misal saya kritik, marah. Yasudah. Tapi kalau
Twitter kan sedikit.
N: Lebih in lagi snapchat sekarang prof
S: Nah itu lebih bagus lagi. tapi
saya belum ke sana.
N: Saya baru tau prof Sapardi sangat
melek gadget yaa
S: Saya nggak cuma melek gadget, saya tuh seorang yang tau
teknologi kelas tinggi. Buku-buku saya, saya terbitkan sendiri saya jual
sendiri cover-nya buat sendiri, saya
kirim ke percetakan sendiri, ke penerbitan sendiri, kalau nggak percaya tanya
Gramedia. Sampai sekarang. saya nggak punya asisten apapun. Maka dari itu
penerbitan saya nggak mati-mati lah wong nggak gaji orang, karena saya gaji
diri sendiri. Apapun yang saya tulis itu saya ajarkan di kelas, saya paksa
mahasiswa saya beli. Nah kembali itu.
(penonton tertawa)
N: Itu dia tips jadi penyair abadi.
Hahaha. Kalau mas Jokpin, kenapa sudah
jarang Twitteran mas?
J: cita-cita saya dengan twitter
sudah tercapai ya sudah.
N: apa cita-citanya?
J: Gini, awal 2000-an, saya menulis
puisi tentang telpon genggam. Waktu itu baru demam hape. Waktu setelah
reformasi. Waktu itu saya sudah punya feeling, saya meramalkan bahwa kita akan
memasuki era digital. Ternyata benar yang diramalkan puisi saya waktu itu.
N: Sajak Telepon Genggam?
J: Pak Sapardi tau itu, pernah
diskusi itu di UI. Puisinya nggak karuan itu, puisi eksperimental sekarang.
N: yang awalnya azan subuh
berkumandang itu bukan?
J: iya ada itu.
N: saya bacakan yaa?
J: Silakan kalau mau dibacakan. Saya
tidak tega membacakannya.
(penonton tertawa)
N: Supaya ada bayangan. (Ini) Salah
satu sajak favorit saya.
“Sajak
Telepon Genggam, Joko Pinurbo
Azan subuh berkumandang
Penuh
hujan
Dia
buka telepon genggam
Tumben
ayah kirim pesan
Ibu
sakit, kangen berat
Nenek
sudah tiga hari hilang
Makam
kakek belum sempat dibersihkan
Sarung
ayah dicuri orang
Utang
stabil
Pohon
nangka di samping rumah tumbang
Bisa
pulang?
Bisa
minta ijin telepon genggam
Pesan
berakhir
Musik telepon genggam menyanyikan The Beatles, Mother”
Favorit, mas Penyair. Itu bisa
membayangkan era digital?
J: iya. Kalau boleh menggunakan
istilah, itu sastra profetis. nggak
percaya. Era sekarang menjawab kegelisahan saya waktu itu. lalu saya buat
twitter. Cita-cita saya bikin puisi dari twitter. Saya mencoba nulis puisi
pendek di twitter. Dirangkai jadi buku. Dan sekarang belum punya kegelisahan
lagi.
N: Tercapai karena bukunya sudah
terbit?
J: Tercapai bukunya sudah terbit.
N: Apa membuat Jokpin biasanya
gelisah?
J: Kan orang paling gelisah dengan
dirinya sendiri. Kalau saya gelisah dengan diri saya sendiri. Saya merasa, diri
saya tidak jelas. Rejekinya juga tidak jelas. Walaupun tidak jelas, setiap
rejeki harus dirayakan dengan kopi. Makanya saya suka kopi. Sebetulnya
kegelisahan saya itu begini ada satu soal yang membuat saya bertnya, kenapa
semakin lama kita semakin sensitif? Semakin mudah berprasangka dengan
label-label ini. tadi saya mengatakan. Masa negara sebesar ini dengan satu kata
“kiri” ini bisa kalang kabut. Saya heran. Itu yang menggelisahkan saya.
Kalau kita pelajari sejarah siapa
yang mengisi makna kata kiri ini. kata kiri ini sudah diberi konotasi tertentu
sehingga orang takut mengatakannya. Padahal kiri dan kanan adalah yang niscaya
hidup sehari-hari. Tetapi konotasi ini membuat hubungan negara dengan warganya
menjadi kikuk jadi nggak nyambung. Karena ada label-label yang diberi
intrepretasi tertentu. Nah sebetulnya itu yang sekarang menarik perhatian saya.
Cuma saya nggak tau gimana menuliskannya. Tapi ini kegelisahan saya, karena
menyangkut hubungan negara dan warganya itu.
Jadi kita itu ternyata bukan menguasai kata-kata tapi malah dipermainkan oleh kata-kata. Kata kiri aja kita nggak bisa menguasai tapi dipermainkan. Hanya satu kata kiri. Simple sekali. Kiri itu pun biasa. Masalahnya kan konotasinya itu neraka. Kanan surga. Kalau belok kiri itu jalan neraka. Kanan itu jalan surga. Kadang itu iblis itu muncul dari kanan yang disebut surga itu. nah ini permainan apa ya. Puisi saya itu tadi hanya contoh kata-kata bahasa indonesia itu bisa menimbulkan kegelisahan tertentu bahkan bisa buat orang kalang kabut. Saya tertarik dengan fenomena bagaimana orang terkuasai oleh konotasi yang ada di kata-kata.
Jadi kita itu ternyata bukan menguasai kata-kata tapi malah dipermainkan oleh kata-kata. Kata kiri aja kita nggak bisa menguasai tapi dipermainkan. Hanya satu kata kiri. Simple sekali. Kiri itu pun biasa. Masalahnya kan konotasinya itu neraka. Kanan surga. Kalau belok kiri itu jalan neraka. Kanan itu jalan surga. Kadang itu iblis itu muncul dari kanan yang disebut surga itu. nah ini permainan apa ya. Puisi saya itu tadi hanya contoh kata-kata bahasa indonesia itu bisa menimbulkan kegelisahan tertentu bahkan bisa buat orang kalang kabut. Saya tertarik dengan fenomena bagaimana orang terkuasai oleh konotasi yang ada di kata-kata.
N: apakah akan segera dituangkan
tidak hanya dalam bentuk sajak tapi ?
J: sebetulnya sudah. Saya kan pernah
buat puisi judulnya Asu, yang
dituliskan matanya kidal merah kiri itu sudah. Cuma kan orang nggak
memperhatikan puisi itu.
N: judulnya Asu?
J: iya. Puitis sekali itu.
N: Dari judulnya sendiri sudah
tergambarkan.
N: Saya ingin tanya, buku favorit.
Adakah buku favorit sampai sekarang terus dibaca?
J: kalau saya salah satu memang DukaMu Abadi. Saya punya dua versi.
Salah satunya versi Pustaka Jaya. (Bukunya) sampai lecek. Saya beli sampai tiga
kali. Sebelumnya hilang diambil orang. Persisi yang saya tuliskan di cerpen
saya Sebotol Hujan itu kejadian betul. Itu buku puisi pertama dan saya belinya
di jogja. Padahal saya sekolah di magelang. Pas hari minggu saya ke jogja buat
beli bukunya. Harganya masih tertera itu. dulu 25 rupiah. Ini versi pustaka
jaya. Harganya 200rupiah atau 500. Ini salah satu buku favorit bukan masalah
bagus atau tidak. Menurut saya paling menginspirasi. Yang paling membuka jalan
kepengarangan saya ya dukamu abadi. Ini ingin saya sampaikan mumpun masih
bertemu.
N: ini baru pertama atau sudah
sering muji pak Sapardi?
J: saya sering. Tapi pak Sapardi
tidak tahu. Ini buku pertama saya, sengaja saya bawa. Buku perdana dari penyair
yang membuka..
N: Yang membuka jalan anda jadi
penyair, Kalau pak Sapardi?
S: Saya tadi mau bilang, Joko Pinurbo aja membeli tidak buku saya. Tapi sampai sekarang saya tidak kaya. Satu orang baca tiga buku kalau ada ratusan orang baca tiga buku, tapi ternyata cuma dia itu yang baca buku saya.
(penonton tertawa)
N: Semua orang di ruangan ini sepertinya punya buku Sapardi
S: Tadi apa pertanyaannya? Tadi saya katakan, pertama kali saya baca puisi dengan baik itu puisi Rendra. Seperti yang sudah saya katakan, ada masa yang kami sebut itu sebagai puisi gelap. Karena puisi setelah Chairil Anwar itu. apa sebabnya? Karena yang nulis itu orang sunda, orang batak, orang Jawa nggak bisa berbahasa indonesia. Bahasa Indonesianya belepotan.
Ketika Rendra nulis, "ohh itu puisi". Waktu SMA saya beli buku Rendra judulnya Balada Orang-orang yang Tercinta, di samping itu saya membaca sebuah sajak drama bersajak karangan T.S Elliot kalau diterjemahkan jadi pembunuhan di Katedral. Sampai sekarang begitu saya baca lagi,"Sapardi itu nyuri dari T.S Elliot." Saya lihat itu sungguh luar biasa. Dia nulis beberapa buku yang luar biasa bagi saya itu yang membuat saya menganggap puisi itu tidak bisa saya tangkap sepenuhnya tapi bikin saya terus baca. Ini apa? Kira-kira saya bisa ndak nulis seperti itu sampai sekarang. Saya yakin bahwa ada seorang teman kalau ingin jadi penyair jadilah seorang modernis. T.S Elliot itu mbahnya modernis Eropa waktu itu. dia menemukan cara-cara pengungkapan yang luar biasa. Skripsi saya yang pertama mengenai itu.
N: Dan itu prof Sapardi terjemahkan
juga?
S: Iya.
N: Buku favorit?
S: Ya.
N: baik.
S: Nanti saya beri terjemahan saya
kalau mau.
N: Hampir mendekati ujung. Pak
Sapardi sudah 50 tahun berkarya. Jokpin kurang lebih 30 tahun. Saya ingin tahu sepanjang puluhan tahun itu, apa momen paling spesial yang kalau diingat bikin
senyum2 sendiri?
J: Ya ketika buku puisi pertama
celana terbit. Saya nggak sengaja. Waktu itu saya sudah lama menyair tapi belum
punya buku. Saya ragu apakah akan terus menyair atau tidak. Pada suatu saat,
ada penerbit kecil di magelang minta saya ngumpulin puisi saya. Saya asal saja.
Masih ketikan manual, tidak saya atur, terserahlah mau diterbitkan seperti apa.
Jadi dan banyak salah cetaknya. Buku salah cetaknya itu urutan puisi nggak
karuan, ternyata bawa berkah. Jadi suatu saat pak Sapardi bilang buku saya
menang. Buku salah cetak bisa membawa saya menang. Ini yang membuat saya
terkesan. Jadi buku puisi saya celana yang beredar yang salah cetak. Jadi ada
yang menerjemahkan itu bingung. Karena ada "sebotol bir" tercetaknya
"sebotol bibir". Sampai bingung. Karena banyak salah cetak. Itu momen
berkesan. Salah cetak bawa keberuntungan.
Setelah itu saya merasa okelah saya jadi penyair. Dari situ saya kembangkan menjadi sarung, kamar mandi. Kalau tidak menemukan celana saya nggak menemukan sarung, kamar mandi, atau asu. Penemuan celana ini yang paling luar biasa. Saya sendiri heran. Momennya sederhana saya harus menghadiri suatu acara saya beli celana. Semua longgar buat saya. Saya nggak dapet celana dapet puisinya.
Setelah itu saya merasa okelah saya jadi penyair. Dari situ saya kembangkan menjadi sarung, kamar mandi. Kalau tidak menemukan celana saya nggak menemukan sarung, kamar mandi, atau asu. Penemuan celana ini yang paling luar biasa. Saya sendiri heran. Momennya sederhana saya harus menghadiri suatu acara saya beli celana. Semua longgar buat saya. Saya nggak dapet celana dapet puisinya.
N: Prof Sapardi, adakah momen yang
paling diingat?
S: sudah saya ceritakan, ketika saya
bicara di depan orang-orang itu, tiba-tiba muncul utusan teman saya dari
bandung dengan buku saya. Itu sangat berkesan bagi saya. Itu pertama kali buku
saya diterbitkan dengan cara sederhana. Disusul buku-buku saya lainnya dengan
cara sederhana lainnya, mata pisau, akuarium. Itu hanya 27-28 halaman. Itu ada
salah cetak. Itu kemudian mengawali hidup sebagai penyair. Dan yang lainnya,
setelah itu menggelinding semuanya gampang saja.
N: pertanyaan terakhir, ketika puisi
begitu menggetarkan hati mengajarkan orang cinta mencintai, apakah dalam
kehidupan sehari-hari skill membuat puisi yang menghanyutkan itu juga berguna?
J: Skill terasah dalam proses. Salah satu cara mengasah skill ya
menulis terus.
N: Jadi banyak puisi cinta, surat
cinta, tweet cinta dari Jokpin?
J: Kayaknya saya kurang bakat
di cinta itu. jadi hampir tidak ada puisi cinta saya dikenang orang. Tampaknya
saya tidak berbakat untuk menulis puisi cinta. Sangat susah. Saya juga tidak
berbakat menulis puisi sosial yang menggebrak. Bakat saya rupanya merawat
hal-hal yang sederhana, yang remeh. Supaya mendapat makna baru.
N: Pak Sapardi, skill itu berguna?
S: Amat sangat berguna. Kalau kita
percaya puisi itu adalah kesenian, seni kata. Tugas kita adalah untuk
mengembangkan skill dalam artian yang sangat dalam. Artinya kemampuan sebaik-baiknya
untuk menciptakan bahasa yang baru. Itu yang saya sampaikan tahun 69 ketika
buku ini diterbitkan. Saya ingat sekali di halaman pertama atau kedua kompas,
Sapardi ini aneh penyair dipaksa untuk mencintai bahasa. Kalau penyair tidak
mencintai bahasa mencintai apa lagi? jadi bagi saya skill itu harus terus
menerus ditingkatkan.
Bahasa itu cepat sekali berkembang. Penyair harus menghadapi semua itu. gimana dia mengolah itu semua tidak jadi cengeng, marah tapi jadi kebahagiaan. Itu memerlukan ketahanan yang luar biasa. Mengembangkan bahasa itu tugas penyair. Tidak ada negara runtuh karena penyair. Nggak ada korupsi habis karena penyair. Kalau ada jasa penyair karena dia menciptakan bahasa yang baru. Tidak ada lagi.
Yang dituntut dari penyair adalah bagaimana dia menciptakan bahasa baru yang segara dan setiap harinya disampaikan itu berantakan jadi klise. Dalam puisi kata itu harus ditata ulang, ditambah lagi semakin lama semakin modern. Puisi chairil anwar dibanding kemenakan saya ini sama sekali berbeda. Nggak mugkin chairil anwar nulis ada burung dalam celana. Dengan demikian penyair itu ditulis dengan bahasa yang hidup. Bukan bahasa buku. Itu kembali ke jaman dulu. Beredarnya sangat cepat tidak hanya di masyarakat, tapi di internetitu menantang anda memasak itu semua. Itu yang dihadapi oleh penyair2 muda sekarang.nah sekarang kesempatan ini besar sekali. Tantangannya juga besar.
Bahasa itu cepat sekali berkembang. Penyair harus menghadapi semua itu. gimana dia mengolah itu semua tidak jadi cengeng, marah tapi jadi kebahagiaan. Itu memerlukan ketahanan yang luar biasa. Mengembangkan bahasa itu tugas penyair. Tidak ada negara runtuh karena penyair. Nggak ada korupsi habis karena penyair. Kalau ada jasa penyair karena dia menciptakan bahasa yang baru. Tidak ada lagi.
Yang dituntut dari penyair adalah bagaimana dia menciptakan bahasa baru yang segara dan setiap harinya disampaikan itu berantakan jadi klise. Dalam puisi kata itu harus ditata ulang, ditambah lagi semakin lama semakin modern. Puisi chairil anwar dibanding kemenakan saya ini sama sekali berbeda. Nggak mugkin chairil anwar nulis ada burung dalam celana. Dengan demikian penyair itu ditulis dengan bahasa yang hidup. Bukan bahasa buku. Itu kembali ke jaman dulu. Beredarnya sangat cepat tidak hanya di masyarakat, tapi di internetitu menantang anda memasak itu semua. Itu yang dihadapi oleh penyair2 muda sekarang.nah sekarang kesempatan ini besar sekali. Tantangannya juga besar.
J: Apa yang dikatakan pak Sapardi
apa yang saya lakukan.
N:
Ada penyair yang masyur karena hujan,
ada
penyair kondang karena jemuran.
Hujan
dan tiang jemuran sama-sama penting.
Keduanya
bertaut dengan urusan yang lumayan intim.
Jika
hujan membasahkan maka jemuran mengeringkan.
Tak
ada yang lebih arif dari tiang jemuran
dibiarkannya
celana sendiri dan kesepian.
“Apa
yang kamu lakukan ke saya itu jahat,” kata celana kepada jemuran
“Aku
hanya ingin mengeringkanmu dengan sederhana,” balas jemuran kepada celana.
Celana
dan jemuran kemudian tertawa sampai perut bergetar
sambil
melihat mas penyair cuap-cuap dengan bapak penyiar.
“Mereka
tadi bicara tentang apa,” tanya celana.
“Sepertinya
tentang kesusastraan,” jawab jemuran.
Celana
berkata betapa mulianya mereka berdua.
Tapi
jemuran mencibir
apa
pentingnya hari gini membaca syair.
Keduanya
diam beberapa saat.
Seperti
manusia yang mendadak ingat urusan tenggat.
Kemudian
hembusan angin dari utara Jakarta,
mengabarkan
kejadian-kejadian yang luar biasa.
Jemuran
tiba-tiba bertanya, “lebih mendesak mana urusan reklamasi atau bicara soal
puisi?”
Celana
terdiam dalam senyap yang liat berbagai tanya tiba-tiba mendekat.
Sambil
berjalan ke kamar mandi, jemuran nyeletuk soal hakikat puisi yang bisa bicara
tentang hujan di bulan Juni hingga hidup buruh di tanggal 1 Mei
Sebab
puisi dapat menampung segala sesuatu.
Dari
yang syahdu dan sarat sendu,
tentang
persoalan yang dianggap perlu
sambil
meninju diktator berkepala batu.
Celana
dan jemuran kembali riang dan gembira
lalu
pergi bersama ke pasar santa
untuk
memborong buku-buku sastra. ---
revisi:
* Tadinya tertulis Salimto Yuliman, tapi ternyata yang benar adalah Sanento Yuliman. (info dari Ahadi Bintang M Said)
* bahasa Jawa yang diucap Jokpin yang Artinya menyimpang dari jalan yang lazim adalah ngiwa. Tadinya saya tidak menuliskannya. (info dari Kurniadi Widodo)
*sebelumnya saya menulis Dihartoko, tapi ternyata yang benar adalah Dick Hartoko (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya tak lengkap menuliskan judul puisi Rendra, ternyata judulnya adalah Balada Orang-orang yang Tercinta (info dari Robertus Roni Setiawan)
*sebelumnya saya menulis Satre, tapi yang benar adalah Sartre (info dari Deasy Elsara)
* sebelumnya saya menulis Jehan, tapi nama yang benar adalah Jeihan (info dari Tampan Destyawan)
Posting Komentar Blogger Facebook